Jumat, 02 Mei 2014

Divergent Indonesia - BAB 10

Divergent BAB 10

Malam itu aku memimpikan Christina yang bergelantungan di susuran sekali lagi, kali ini dengan jari kakinya. Lalu, seseorang berteriak bahwa hanya seorang Divergent yang bisa menolongnya. Maka, aku berlari menghampirinya untuk membantunya naik. Namun, seseorang mendorongku melewati pinggir jurang dan aku terbangun tepat sebelum aku membentur bebatuan di bawah sana.

Divergent Indonesia - BAB 9

Divergent BAB 9

“Karena hari ini jumlah kalian ganjil, ada satu di antara kalian yang tidak akan berkelahi hari ini” ujar Four sambil melangkah menjauh dari papan di ruang latihan. Ia menatapku. Tidak ada nama yang tertulis di sebelah namaku.

Divergent Indonesia - BAB 8

Divergent BAB 8

“Hal pertama yang hari ini akan kalian pelajari adalah cara menembakkan senjata. Yang kedua adalah bagaimana memenangkan perkelahian.” Four menjejalkan senjata ke telapak tanganku tanpa melihat dan terus berjalan. “Bagusnya, jika kalian ada di sini, kalian sudah tahu bagaimana cara naik dan turun dari kereta yang berjalan, jadi aku tak perlu mengajari kalian hal itu.”

Divergent Indonesia - BAB 7

Divergent BAB 7

Saat semua peserta inisiasi sudah berdiri tegak, Lauren dan Four memimpin kami menyusuri terowongan sempit. Dindingnya terbuat dari batu. Langit-langitnya landai, jadi aku merasa seperti turun dalam ke perut bumi. Terowongan diberi penerangan dengan jarak yang panjang. Di celah gelap antara tiap lampu yang bersinar suram, aku takut kalau-kalau aku tersesat sampai bahu seseorang membentur bahuku, menyadarkanku kami masih beriringan. Saat cahaya kembali menyorot terang, aku merasa aman lagi.

Divergent Indonesia - BAB 6

Divergent BAB 6

Aku terus menunduk dan berdiri di belakang para pemilih Dauntless yang memutuskan untuk tetap berada di faksi mereka. Mereka jauh lebih tinggi dariku, jadi bahkan ketika kudongakkan kepalaku, aku hanya bisa melihat bahu-bahu mereka yang mengenakan pakaian hitam. Ketika gadis terakhir selesai memilih—ia memilih Amity—sekarang waktunya pergi. Dauntless meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Aku berjalan melewati orang-orang berjubah abu-abu yang tadinya berada dalam satu faksi denganku. Mataku menatap lurus ke arah kepala seseorang yang berjalan didepanku.

Kamis, 01 Mei 2014

Divergent Indonesia - BAB 5

Divergent BAB 5

Bus yang kami tumpangi ke Upacara Pemilihan penuh dengan orang-orang berbaju dan bercelana abu-abu. Seberkas cahaya matahari pucat menembus kumpulan awan seperti bulatan ujung rokok yang terbakar. Aku tidak akan pernah merokok—merokok erat sekali dengan kesan kesombongan—tapi sekumpulan orang Candor merokok di depan gedung saat kami turun dari bus.

Aku harus menengadahkan kepala untuk melihat bagian atas The Hub. Walau begitu, tetap saja bagian teratasnya hilang ditelan awan. Ini gedung tertinggi di kota. Aku bisa melihat lampu di atap dua menaranya dari jendela kamarku.

Aku mengikuti orangtuaku turun dari bus. Caleb kelihatannya tenang, tapi begitu pula denganku, jika aku tahu apa yang akan kulakukan. Namun, aku malah merasa seakan jantungku akan melompat keluar kapan saja. Aku meraih lengan Caleb agar bisa tegak berdiri saat menaiki tangga depan.

Lift begitu ramai, jadi ayah dengan sukarela memberikan tempatnya pada sekelompok orang Amity. Kami malah menaiki tangga, mengikutinya tanpa banyak pertanyaan. Kami memberikan contoh untuk teman-teman sesama anggota faksi. Tak lama, kami bertiga menjadi bagian dari sekelompok orang berpakaian abu-abu yang serentak menaiki tangga diterangi cahaya seadanya. Aku menyamakan langkahku. Suara juntai jubah abu-abu yang menggesek kaki yang bergema di telingaku dan kesamaan orang-orang yang mengelilingiku saat ini membuatku percaya aku bisa memilih faksi ini. Aku bisa membaur dengan pola pikir khas Abnegation, selalu mementingkan orang lain.

Tapi, kemudian kakiku sakit. Aku susah bernapas. Sekali lagi pikiranku terpecah. Kami harus menaiki dua puluh lantai untuk mencapai ruang Upacara Pemilihan.

Ayah memegang pintu di lantai dua puluh agar tetap terbuka dan berdiri seperti penjaga saat setiap kaum Abnegation berjalan melewatinya. Aku ingin menunggunya, tapi kerumunan orang di belakang mendorongku ke depan keluar dari jalur tangga dan memasuki ruangan di mana aku akan memutuskan masa depanku.

Ruangan ini disusun oleh beberapa lingkaran konsentris. Di sisi-sisinya berdiri anak-anak berusia enam belas tahun dari setiap faksi. Kami belum bisa dipanggil anggota faksi. Keputusan kami hari inilah yang membuat kami menjadi peserta inisiasi. Kami akan menjadi anggota jika kami menyelesaikan inisiasi.

Kami berbaris berdasarkan urutan abjad nama belakang kami, yang mungkin akan kami tanggalkan hari ini. Aku berdiri di antara Caleb dan Danielle Pohler, gadis Amity yang berpipi kemerahan dan gaun kuning.

Barisan bangku untuk keluarga kami berada di lingkaran selanjutnya. Semua disusun dalam lima bagian sesuai dengan masing-masing faksi. Tidak semuanya datang ke Upacara Pemilihan, tapi cukup banyak untuk membuat orang-orang yang datang kelihatan ramai.

Tanggung jawab menyelenggarakan upacara ini dilakukan bergiliran oleh setiap faksi. Kali ini giliran Abnegation. Marcus yang akan memberikan pidato pembuka dan membacakan nama-nama dalam urutan terbalik. Caleb akan memilih sebelum aku.

Di lingkaran terakhir ada lima mangkuk logam yang begitu besar sampai bisa menyembunyikan tubuhku jika aku meringkuk. Masing-masing mangkuk berisi barang-barang yang mewakili masing-masing faksi: Batu abu-abu untuk Abnegation, air untuk Erudite, tanah untuk Amity, batu bara pijar untuk Dauntless, dan kaca untuk Candor.

Saat Marcus memanggil namaku, aku akan berjalan ke tengah tiga lingkaran konsentris. Aku tidak boleh bicara. Ia akan memberiku sebilah pisau. Pisau itu kugoreskan ke tangan dan meneteskan darahku ke dalam mangkuk faksi yang kupilih.

Darahku di atas bebatuan itu. Darahku mendesis di atas batu bara pijar.

Sebelum ayah ibu duduk, mereka berdiri di hadapan aku dan Caleb. Ayah mencium keningku dan menepuk bahu Caleb sambil tersenyum lebar.

“Sampai ketemu lagi,” ujarnya. Tanpa ada jejak keraguan.

Ibu memelukku dan pertahananku yang tak seberapa hampir saja runtuh. Aku mengatupkan rahang dan menatap langit-langit. Ada lentera bola dunia yang tergantung di sana dan menerangi ruangan dengan cahaya biru. Lama sekali ibu memelukku, bahkan setelah aku membiarkan lenganku jatuh tak memeluknya lagi. Sebelum ia melepaskan pelukan, ibu membisikkan sesuatu di telingaku. “Ibu sayang kamu. Apa pun yang terjadi.”

Aku mengernyit ke arah ibu saat beliau berjalan menjauh. Ibu tahu apa yang mungkin akan kulakukan. Pasti ibu tahu. Kalau tidak, ibu takkan merasa perlu mengatakannya.

Caleb menggenggam tanganku. Ia meremas telapak tanganku begitu kuat, tapi aku tak melepaskannya. Terakhir kali kami berpegangan tangan adalah saat pemakaman Paman. Saat itu ayah menangis. Sekarang, kami saling membutuhkan kekuatan satu sama lain, persis seperti waktu itu.

Ruangan mulai penuh. Aku seharusnya mengamati Dauntless. Seharusnya aku mencari informasi sebanyak mungkin, tapi aku hanya bisa melihat lentera di penjuru ruangan. Aku mencoba berkonsentrasi menatap cahaya kebiruan itu.

Marcus berdiri di podium yang berada di antara barisan Erudite dan Dauntless. Ia berdeham di depan mikrofon.

“Selamat datang,” ujarnya. “Selamat datang di Upacara Pemilihan. Selamat datang di hari di mana kita menghormati filosofi demokratis para leluhur kita, yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memilih caranya menjalani hidup di dunia ini.”

Atau, dalam kasusku, satu dari lima cara yang telah ditentukan. Aku meremas jari-jari Caleb sekuat ia meremas jari-jariku.

“Para penerus kita sekarang telah berusia enam belas tahun. Mereka berdiri di tebing kedewasaan dan sekarang mereka yang menentukan sendiri akan menjadi apa mereka nantinya.” Suara Marcus terdengar khidmat dan memberi penekanan yang sama di tiap katanya. “Beberapa puluh tahun lalu, leluhur kita menyadari bahwa bukan ideologi politik, kepercayaan religius, ras, atau nasionalisme yang bisa disalahkan atas dunia yang berperang. Mereka lebih yakin bahwa itu kesalahan sifat manusia—kecenderungan manusia untuk berbuat jahat, dalam bentuk apa pun. Maka, para leluhur membagi dunia dalam lima faksi yang bertujuan untuk menghapus sifat-sifat yang dianggap bertanggung jawab atas kekacauan di dunia.”

Mataku menatap bergantian ke arah mangkuk- mangkuk di tengah ruangan. Apa yang kupercayai? Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu.

“Mereka yang tidak menyukai peperangan, membentuk Amity.”

Kaum Amity tersenyum satu sama lain. Mereka mengenakan pakaian nyaman yang berwarna merah atau kuning. Tiap kali aku melihat mereka, sepertinya mereka baik, penuh kasih sayang, dan lainnya. Tapi, bergabung dengan mereka tak pernah menjadi pilihanku.

“Mereka yang tak menyukai ketidaktahuan, menjadi Erudite.”

Mencoret Erudite dari daftarku adalah bagian pilihanku yang termudah.

“Mereka yang tidak menyukai kepalsuan, membentuk Candor.”

Aku tak pernah suka Candor.

“Mereka yang tak menyukai pamrih dan egoisme, membentuk Abnegation.”

Aku tak menyukai pamrih dan egoisme. Sungguh aku tidak suka.

“Dan, mereka yang membenci kepengecutan adalah para Dauntless.”

Tapi, rasa egoisku masih tetap ada. Aku sudah mencoba selama enam belas tahun dan aku tak pernah merasa benar-benar tak memiliki ego dan pamrih.

Kakiku seperti lumpuh. Rasanya seperti tak ada tanda kehidupan. Dan, aku jadi bertanya-tanya bagaimana aku bisa berjalan saat namaku dipanggil nanti.

“Dengan bekerja sama, kelima faksi ini hidup damai selama bertahun-tahun. Masing-masing berkontribusi untuk tiap sektor masyarakat yang berbeda. Abnegation memenuhi kebutuhan kita akan pemimpin tanpa pamrih di pemerintahan. Candor memberikan kita pemimpin vokal dan bisa dipercaya di dunia hukum. Erudite menyediakan guru-guru dan para peneliti yang pandai. Amity memberikan para konselor dan perawat yang penuh pengertian. Dan, Dauntless memberikan kita semua perlindungan, baik dari dalam maupun luar dunia kita sendiri. Tapi, pencapaian masing-masing faksi itu tak terbatas hanya di area ini. Kami memberikan satu sama lain lebih dari yang bisa dirangkum. Di faksi kitalah, kita menemukan makna. Kita menemukan tujuan. Kita menemukan hidup.”

Tebersit di pikiranku moto yang kubaca di buku cetak Sejarah Faksi: Faksi Lebih Penting dari Pertalian Darah. Lebih dari keluarga. Faksi adalah tempat kami sesungguhnya berada. Apa mungkin benar seperti itu?

Marcus menambahkan, “Tanpa faksi, kita takkan bertahan hidup.”

Keheningan yang mengikuti kata-kata Marcus barusan lebih berat dari keheningan mana pun. Berat oleh ketakutan terbesar kami, bahkan lebih besar dari ketakutan akan kematian: menjadi factionless, tanpa Komunitas.

Marcus melanjutkan, “Oleh karena itu, hari ini diperingati sebagai perayaan membahagiakan—hari di mana kita menerima para peserta inisiasi baru yang  akan bekerja sama dengan kita untuk masyarakat yang lebih baik dan dunia yang lebih baik.”

Tepuk tangan menggema. Suaranya seakan menenangkan. Aku mencoba tetap berdiri tegak karena kakiku seperti terkunci dan tubuhku kaku. Aku tidak gemetar. Marcus membaca nama pertama, tapi aku tak bisa mendengar satu demi satu suku katanya. Bagaimana aku akan tahu kalau ia nanti memanggil namaku?

Satu demi satu anak berumur enam belas tahun keluar dari barisan dan berjalan menuju tengah ruangan. Gadis pertama yang memilih, memutuskan memilih Amity, faksi tempatnya berasal. Aku melihat tetes darahnya jatuh ke atas tanah dan ia berdiri di belakang kursi Amity seorang diri.

Ruangan ini terus bergerak. Nama yang baru dan orang baru yang memilih. Sebilah pisau dan sebuah pilihan baru. Aku mengenali sebagian besar dari mereka, tapi aku ragu mereka mengenalku.

“James Tlicker,” ujar Marcus.

James Tlicker dari Dauntless adalah orang pertama yang terjungkal saat melangkah menuju mangkuk. Ia menjulurkan tangan ke depan dan mendapatkan lagi keseimbangannya sebelum tersungkur di lantai. Wajahnya memerah dan ia berjalan cepat ke tengah ruangan. Saat ia berada di sana, ia mengalihkan pandangan dari mangkuk Dauntless menuju mangkuk Candor.

Marcus memberikan pisau padanya. James Tlicker menarik napas panjang—aku bisa melihat dadanya naik—dan saat ia menghela napas, ia menerima pisau itu. Kemudian, ia menorehkannya ke telapak tangan sambil bergidik dan menahan lengannya yang terjulur ke salah satu sisi. Darahnya menetes di atas kaca. Ialah yang pertama yang berpindah faksi. Perpindahan faksi yang pertama. Gumaman menggema dari bagian Dauntless dan aku menunduk menatap lantai.

Mulai sekarang, mereka akan melihat James sebagai pengkhianat. Keluarga Dauntlessnya akan memiliki pilihan untuk mengunjunginya di faksinya yang baru, selama sepuluh hari pada Hari Kunjungan. Tapi, keluarganya takkan melakukan itu karena ia telah meninggalkan mereka. Ketidakhadirannya akan menghantui lorong aula keluarga. Ia akan menjadi tempat kosong yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Dan saat waktu berlalu, lubang itu menghilang, seperti saat organ tubuh diambil dan digantikan cairan tubuh ke tempat yang kosong itu. Manusia tidak bisa menghadapi kekosongan dalam waktu lama.

“Caleb Prior,” ujar Marcus.

Caleb meremas tanganku sekali lagi untuk yang terakhir kali. Ia berjalan menjauh sambil melihatku dari balik bahunya. Aku melihat langkahnya yang makin mendekati bagian tengah ruangan. Tangannya terlihat mantap saat menerima pisau dari Marcus. Tangannya pun terlihat terampil saat menggoreskan pisau itu ke telapak tangan satunya. Ia berdiri dengan darah menggenang di tangan dan bibir tergigit menahan sakit.

Ia mengembuskan napas. Lalu menariknya. Dan, ia menjulurkan tangan ke atas mangkuk Erudite dan darahnya menetes ke dalam air. Air dalam mangkuk memerah.

Aku mendengar gumaman yang menjelma seperti pekikan penuh amarah. Aku hampir tak bisa berpikir jemih. Kakakku, kakakku yang tak memiliki pamrih, berpindah faksi? Kakakku, yang terlahir sebagai seorang Abnegation, kini seorang Erudite?

Saat aku menutup mata, aku melihat tumpukan buku di atas meja Caleb. Lalu, tangannya yang gemetar saat diusapkan ke celana selepas Tes Kecakapan. Kenapa aku tak menyadarinya saat kemarin ia berkata padaku untuk memikirkan masa depanku sendiri, sebenarnya ia sedang memberi nasihat untuk dirinya sendiri?

Aku mengedarkan pandangan ke kumpulan Erudite—mereka tersenyum penuh kepuasan dan saling menyikut satu sama lain. Abnegation, yang biasanya begitu tenang, saling berbisik satu sama lain dengan nada tinggi dan melirik ke seberang ruangan ke arah faksi yang telah menjadi musuh mereka.

“Permisi,” ujar Marcus, tapi tak ada yang mendengarkannya. Ia berteriak, “Mohon tenang!”

Ruangan menjadi hening. Kecuali, ada suara berdenging yang terus mengusik.

Kudengar namaku disebut dan rasa merinding mendorongku ke depan. Setengah jalan sebelum mencapai mangkuk itu, aku yakin aku akan memilih Abnegation. Aku bisa melihatnya sekarang. Aku melihat diriku sendiri tumbuh menjadi wanita yang mengenakan jubah Abnegation, menikahi kakak Susan, Robert, melakukan kerja sukarela di akhir pekan kegiatan rutinitas yang menenangkan, malam-malam tenang yang dihabiskan di depan perapian, kepastian kalau hidupku akan aman. Dan, jika itu semua tidak cukup, aku akan menjadi lebih baik dari diriku yang sekarang.

Suara denging itu, baru kusadari, datangnya dari telingaku sendiri.

Aku menatap Caleb yang sekarang berdiri di belakang kursi Erudite. Ia menatapku balik dan sedikit mengangguk, seakan ia tahu apa yang kupikirkan, dan menyetujuinya. Langkahku meragu. Jika seorang Caleb pun tak merasa cocok hidup di Abnegation, bagaimana aku bisa melakukannya? Tapi, pilihan apa yang kupunya. Sekarang, Caleb sudah meninggalkan kami semua dan hanya aku yang tersisa. Ia tak memberikanku pilihan lain.

Aku mengeraskan rahangku. Aku akan menjadi anak yang memutuskan untuk tetap tinggal. Aku harus melakukan ini untuk ayah dan ibu. Harus.

Marcus memberiku pisau. Aku menatap matanya— matanya biru tua, warna yang aneh—dan mengambil pisau itu. Ia mengangguk dan aku berbalik menghadap barisan mangkuk. Api Dauntless dan batu Abnegation, keduanya ada di sebelah kiriku. Satu di depan bahuku dan satu di belakangku. Aku memegang pisau dengan tangan kanan dan menekan bilahnya ke telapak tangan. Sambil menggertakkan gigi kuat-kuat, aku menggoreskan pisau itu. Rasanya memang sakit, tapi aku hampir tak memedulikannya. Aku meletakkan kedua tanganku di dada dan helaan napasku berikutnya membuatku gemetar.

Aku membuka mata dan mengulurkan tangan. Darahku menetes di atas karpet di antara kedua mangkuk. Lalu, dengan satu tarikan napas yang tak bisa kutahan, aku menggerakkan tanganku ke depan, dan darahku berdesis di atas batu bara yang berpijar.

Aku memang egois. Aku pemberani.

Divergent Indonesia - BAB 4

Divergent BAB 4

Aku tiba di kompleks perumahanku lima menit lebih awai dari biasanya, menurut jam tanganku—satu- satunya perhiasan yang boleh dipakai seorang Abnegation, hanya karena fungsi praktisnya. Jamku bertali abu-abu dan memiliki tutup kaca. Jika melihatnya dengan sudut yang tepat, aku hampir bisa melihat pantulan bayanganku sendiri di sana.

Rumah-rumah di kompleks ini memiliki ukuran dan bentuk yang sama. Rumah kami terbuat dari semen abu-abu dengan beberapa jendela murahan berbentuk segiempat tak beraturan. Pekarangan kami ditumbuhi alang-alang dan kotak pos yang terbuat dari besi yang kusam. Untuk beberapa orang, pemandangan ini terlihat suram, tapi untukku, kesederhanaannya sungguh membuat nyaman.

Alasan atas semua kesederhanaan ini bukanlah penghinaan atas keunikan, seperti yang terkadang diartikan oleh faksi lainnya. Semuanya—rumah, pakaian, tatanan rambut kami—untuk membantu kami melupakan diri kami sendiri, serta melindungi kami dari rasa sombong, serakah, dan iri yang merupakan bentuk dari egoisme. Kalau kami hanya memiliki sedikit, menginginkan sedikit, dan kami semua sama, kami takkan iri pada siapa pun.

Aku mencoba mencintai cara ini.

Aku duduk di undakan depan rumah dan menunggu Caleb pulang. Aku tak menunggu lama. Semenit kemudian, aku melihat beberapa anak berjubah abu- abu menyusuri kompleks. Terdengar suara tawa. Di sekolah, kami mencoba untuk tidak menarik perhatian orang pada kami, tapi begitu kami di rumah, permainan dan lelucon dimulai. Kecenderungan alamiku akan sarkasme masih belum dihargai. Sarkasme selalu mengorbankan perasaan orang lain. Mungkin kaum Abnegation berpikir lebih baik aku menekan sikap itu. Mungkin aku tak perlu meninggalkan keluargaku. Mungkin kalau aku berjuang untuk menerapkan nilai Abnegation, sikapku akan terasa lebih nyata.

“Beatrice!” ujar Caleb. “Apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa?”

"Aku baik-baik saja.” Caleb bersama Susan dan kakaknya Robert. Susan menatapku aneh, seakan aku orang yang berbeda dengan yang ia kenal tadi pagi. Aku mengangkat bahu. “Saat tesnya selesai, aku tidak enak badan. Mungkin karena cairan yang mereka berikan. Tapi sekarang, aku sudah baikan.”

Aku mencoba tersenyum mantap. Sepertinya aku berhasil memperdaya Susan dan Robert yang sudah  tak lagi mencemaskan kondisi kejiwaanku. Namun Caleb memicingkan mata dan menatapku. Ia selalu melakukannya saat ia mencurigai seseorang sedang berbohong.

“Kalian berdua hari ini naik bus?” tanyaku. Aku tak peduli bagaimana Susan dan Robert pulang dari sekolah, tapi aku harus mengganti topik.

"Ayah kami harus pulang malam,” ujar Susan, “dan ayah bilang kami harus merenung sebentar sebelum Upacara besok.”

Hatiku melompat saat Upacara itu disebut.

“Kalian boleh mampir nanti kalau kalian mau,” ujar Caleb sopan.

“Terima kasih.” Susan tersenyum pada Caleb.

Robert menaikkan alisnya ke arahku. Kami berdua sering saling pandang setahun ini saat Susan dan Caleb saling tebar pesona dengan cara yang sementara ini hanya diketahui oleh kaum Abnegation. Mata Caleb mengikuti langkah Susan. Aku sampai harus meraih lengannya untuk mengalihkan pandangannya. Aku mengajaknya masuk ke rumah dan menutup pintu.

Ia berbalik menatapku. Alisnya yang hitam dan lurus saling bertaut dan membuat dahinya berkerut. Saat ia bekernyit seperti itu, ia lebih mirip ibu daripada ayah. Dalam sekejap, aku bisa membayangkannya menjalani hidup seperti ayah: tetap tinggal di Abnegation, belajar berdagang, menikahi Susan, dan memiliki keluarga. Pasti akan indah.

Aku mungkin tak bisa ikut menyaksikannya.

“Apa kau mau memberitahukan yang sebenarnya sekarang?” tanyanya lembut.

“Sejujurnya,” kataku, “aku tidak boleh membahasnya. Dan kau tak seharusnya bertanya.”

“Semua peraturan pernah kau langgar, dan yang ini malah tak bisa kau langgar? Tidak bahkan untuk sesuatu sepenting ini?” Alisnya saling mengait dan ia menggigit ujung bibimya. Walau kata-katanya terdengar menuduh, kedengarannya seperti ia menyelidiki- ku untuk sebuah informasi—sepertinya ia benar-benar menginginkan jawabanku.

Aku memicingkan mata. “Apa kau juga mau berbagi? Apa yang terjadi saat tes-mu, Caleb?”

Kami saling bertatapan. Aku mendengar klakson kereta. Sangat samar sampai mudah dibawa angin yang berembus di lorong aula. Tapi, aku tahu saat mendengarnya. Kedengarannya seperti Dauntless memanggilku datang.

“Jangan bilang ayah ibu apa yang terjadi, oke?” kataku.

Matanya tetap menatapku beberapa detik, lalu ia mengangguk.

Aku ingin naik ke kamar dan berbaring. Ujian tadi, perjalananku pulang barusan, dan pertemuanku dengan pria factionless tadi, membuatku lelah. Tapi, kakakku menyiapkan sarapan pagi ini, ibu menyiapkan makan siang kami, dan ayah menyiapkan makan malam kemarin. Jadi, malam ini giliranku memasak, menarik napas panjang dan berjalan menuju dapur untuk memasak.

Semenit kemudian, Caleb mendatangiku. Aku menggertakkan gigi. Ia membantu menyiapkan semua-nya. Yang membuatku terganggu adalah sikap baiknya yang alami. Sikap tak mementingkan diri sendiri yang sudah ia bawa sejak lahir.

Aku dan Caleb bekerja sama tanpa bicara. Aku memasak kacang di atas kompor. Ia menghangatkan empat potong ayam beku. Sebagian besar yang kami makan adalah makanan beku atau kalengan karena peternakan letaknya jauh. Ibu pernah bilang, dulu orang-orang tak mau membeli produk yang melalui proses genetis buatan karena mereka pikir itu tidak alami. Sekarang, kami tak punya pilihan.

Saat ayah ibu pulang, makan malam dan meja sudah siap semua. Ayah menjatuhkan tasnya di pintu dan mencium kepalaku. Orang lain memandang ayah sebagai orang berpendirian keras—terlalu keras, malah—tapi ayah juga penyayang. Aku mencoba untuk hanya melihat sisi baiknya. Aku mencoba.

“Bagaimana tesnya?” tanyanya. Aku menuangkan kacang ke mangkuk saji.

“Baik,” kataku. Aku tak bisa menjadi seorang Candor. Aku terlalu gampang berbohong.

“Kudengar ada semacam masalah dengan salah satu tesnya,” ujar ibu. Seperti ayah, ibu bekerja di pemerintahan. Bedanya, ibu mengatur proyek pengembangan kota. Ibu merekrut para sukarelawan untuk menjalankan tes kecakapan. Namun, sering kali juga, ibu mengatur para pekerja untuk membantu kaum factionless dengan bantuan makanan, tempat tinggal, dan kesempatan kerja.

“Benarkah?” tanya ayah. Masalah saat tes kecakapan jarang terjadi.

“Aku tidak terlalu mengerti, tapi temanku, Erin bilang ada sesuatu yang salah dengan salah satu tes- nya, jadi hasil tesnya harus diberikan secara lisan.” Ibu meletakkan satu serbet di samping setiap piring di meja. “Sepertinya murid itu sakit dan disuruh pulang lebih awai.” Ibu mengangkat bahu. “Aku harap mereka semua baik-baik saja. Apa kalian mendengar sesuatu tentang itu?”

“Tidak,” ujar Caleb. Ia tersenyum pada ibu. Kakakku juga tak bisa menjadi seorang Candor. Kami duduk mengitari meja. Kami selalu mengoper makanan ke kanan dan tak ada yang makan sampai semua makanan disajikan. Ayah mengulurkan tangan ke arah ibu dan kakakku, dan mereka mengulurkan tangan pada ayah dan aku. Ayah pun bersyukur pada Tuhan atas makanan, pekerjaan, teman-teman, dan keluarga. Tidak semua keluarga Abnegation religius, tapi ayah selalu bilang kami harus mencoba tidak melihat perbedaan karena itu hanya akan memecah belah kami. Aku tidak tahu harus berkata apa.

“Jadi,” kata ibu pada ayah. “Katakan padaku.”

Ibu meraih tangan ayah dan mengusapkan ibu jarinya di atas tonjolan tulang tangan ayah dengan gerakan melingkar. Aku menatap mereka yang saling berpegangan tangan. Orangtuaku saling mencintai, tapi mereka jarang menunjukkan kasih sayang seperti ini  depan kami. Mereka mengajari kami kalau kontak itu begitu kuat, jadi aku sudah terbiasa tidak nyaman dengan kontak fisik sejak aku masih kecil.

“Katakan padaku apa yang mengganggumu,” tambahnya.

Aku menatap piringku. Indra peka ibuku terkadang mengejutkanku, tapi sekarang rasanya seperti meledekku. Kenapa aku terlalu memikirkan diriku sendiri sampai aku tidak memperhatikan sosok ayah yang kuyu dan muram?

“Aku mengalami hari yang sulit di kantor,” ujarnya. “Ya, sebenarnya, Marcuslah yang tadi mengalami hari yang sulit. Aku tidak seharusnya mengakuinya sebagai hariku”

Marcus adalah rekan kerja ayah. Mereka berdua adalah pemimpin politik. Kota ini dipimpin oleh dewan yang terdiri dari lima puluh orang. Seluruh anggota dewan tersusun dari wakil-wakil Abnegation; faksi kamilah yang dianggap tidak korup karena komitmen kami untuk tidak mementingkan diri sendiri. Pemimpin kami dipilih oleh rekan-rekannya karena karakter yang tidak tercela, kegigihan moral, dan watak kepemimpinan. Perwakilan dari faksi lainnya bisa berbicara di dalam sebuah pertemuan tentang masalah tertentu, tapi keputusan sepenuhnya berada di tangan dewan. Dan, saat dewan membuat keputusan bersama, Marcus adalah orang yang cukup berpengaruh.

Sistem ini sudah lama dianut sejak awai zaman kedamaian akbar, saat faksi-faksi terbentuk. Kurasa sistem ini tetap dijalankan karena kami takut apa yang mungkin terjadi jika tidak dijalankan: perang.

“Apakah ini karena laporan Jeanine Matthews?” ujar ibu. Jeanine Matthews adalah satu-satunya wakil Erudite yang terpilih berdasarkan nilai IQ-nya. Ayah sering mengeluh tentang wanita itu.

Aku mendongak. “Laporan?"

Caleb memberiku tatapan peringatan. Kami tidak seharusnya berbicara di meja makan, kecuali apabila orangtua kami menanyai kami langsung. Telinga yang suka mendengar adalah berkah, begitu kata ayahku. Mereka memberikan kami kesempatan semacam itu setelah makan malam, di ruang keluarga.

“Ya,” ujar ayah dengan mata menyipit. “Laporan yang arogan, mementingkan diri sendiri— ia berhenti sebentar dan berdeham. “Maaf. Tapi, ia mengeluarkan laporan yang menyerang karakter Marcus.”

Aku menaikkan alis.

“Laporannya bilang apa?” tanyaku.

“Beatrice,” ujar Caleb tenang.

Aku menundukkan kepala. Aku memainkan garpu tanpa henti sampai merah di pipiku menghilang. Aku tidak suka ditegur. Apalagi oleh kakakku.

“Laporannya bilang,” kata ayah, “kalau kekerasan dan kekejaman Marcus terhadap anak laki-lakinyalah yang menjadi penyebab utama anaknya memilih Dauntless daripada Abnegation.”

Beberapa orang yang lahir di kaum Abnegation memutuskan untuk meninggalkan faksinya. Jika ada yang melakukannya, tentu kami terus mengingatnya. Dua tahun lalu, anak laki-laki Marcus, Tobias, meninggalkan faksi kami untuk pindah ke Dauntless. Hati Marcus hancur sejak itu. Tobias anak tunggalnya—dan satu-satunya keluarga yang ia punya karena istrinya meninggal saat melahirkan anak kedua mereka. Bayi itu menyusul ibunya beberapa menit kemudian.

Aku tak pernah bertemu Tobias. Ia jarang mendatangi acara komunitas dan tak pernah ikut datang bersama ayahnya ke rumah kami untuk makan malam. Ayah dulu sering menganggapnya aneh, tapi sekarang itu bukan masalah.

“Kejam? Marcus?” ibu menggelengkan kepala. “Kasihan pria malang itu. Ia tak perlu diingatkan atas kehilangannya itu.”

‘Atas pengkhianatan putranya, maksudmu?” tanya ayah dingin. “Di titik ini aku takkan terkejut. Orang Erudite itu telah menyerang kita dengan laporan semacam itu beberapa bulan ini. Dan ini bukanlah yang terakhir. Akan ada lagi. Aku jamin itu.”

Aku tak seharusnya bicara lagi, tapi aku tak bisa menahan diri. Aku keceplosan, “Kenapa mereka melakukan ini?”

“Kenapa kau tak menggunakan kesempatan ini untuk mendengarkan ayahmu, Beatrice?” ujar ibu lembut. Kalimat itu diucapkan seperti sebuah saran, bukannya perintah. Aku menatap ke seberang meja ke arah Caleb yang juga menatapku tidak setuju.

Aku menatap kacang-kacangku. Aku tidak yakin aku bisa hidup di kehidupan yang penuh peraturan seperti ini lebih lama lagi. Aku tidak cukup baik untuk itu.

“Kau tahu alasannya,” ujar ayah. “Karena kita memiliki apa yang mereka mau. Menghargai ilmu pengetahuan di atas segalanya akan berakhir dengan keinginan untuk kekuasaan. Dan, itulah yang mendorong seseorang ke dalam tempat kosong dan gelap. Kita seharusnya bersyukur karena kita memahaminya lebih baik.”

Aku mengangguk. Aku tahu, aku takkan memilih Erudite, walau hasil tesku mengatakan kalau aku bisa memilihnya. Aku anak perempuan kesayangan ayah.

Ayah dan ibu membersihkan meja setelah makan malam. Mereka bahkan tak membiarkan Caleb membantu karena kami seharusnya menyendiri di kamar daripada di ruang keluarga, sehingga kami bisa memikirkan tentang hasil tes tadi.

Keluargaku mungkin bisa membantuku memilih, jika aku mau bicara tentang hasilnya. Tapi, aku tidak bisa. Peringatan Tori terbayang-bayang di ingatanku tiap kali keinginanku untuk menutup mulut goyah.

Aku dan Caleb menaiki tangga dan begitu kami sampai di atas, saat kami memisahkan diri menuju kamar kami masing-masing, ia menghentikanku dengan satu sentuhan di pundak.

“Beatrice,” ujarnya sambil menatap mataku tajam “Kita harus memikirkan keluarga kita.” Ada penekanan di nada bicaranya. “Tapi, kita juga harus memikirkan diri kita sendiri.”

Untuk sejenak, aku menatapnya. Aku tak pernah melihatnya memikirkan diri sendiri. Tak pernah mendengarnya memaksakan sesuatu selain sikap tidak mementingkan diri sendiri.

Aku begitu terkejut dengan komentamya sampai aku hanya mengatakan apa yang seharusnya kukatakan: “Tes itu tak perlu mengubah pilihan kita.”

Ia sedikit tersenyum. “Tapi memang begitu, kan?” Ia meremas bahuku dan berjalan menuju kamarnya. Aku menemaninya menuju kamar dan melihat tempat tidur yang belum rapi dan setumpuk buku di meja. Ia menutup pintu. Kuharap aku bisa memberitahunya kalau kita sedang menghadapi masalah yang sama. Kuharap aku bisa mengatakan sesuatu padanya tepat seperti apa yang kuinginkan, bukannya seperti apa yang seharusnya.aku katakan. Tapi, mengakui kalau aku butuh bantuan terlalu besar untuk ditanggung, jadi aku berbalik.

Aku masuk ke kamar. Saat aku menutup pintunya, aku sadari pilihannya mungkin sederhana. Akan butuh rasa tidak mementingkan diri sendiri yang begitu besar untuk memilih Abnegation, atau rasa keberanian yang besar untuk memilih Dauntless. Mungkin memilih salah satu dari dua hal itu akan membuktikan tempat mana seharusnya aku berada. Besok, kedua sifat itu akan bertarung di dalam diriku. Dan, hanya satu yang bisa menang.