Kamis, 01 Mei 2014

Divergent Indonesia - BAB 2

Divergent BAB 2

Tesnya mulai setelah makan siang. Kami semua duduk di meja panjang di kafetaria dan para penguji akan memanggil sepuluh nama sekaligus. Masing-masing menempati satu ruang pengujian. Aku duduk di samping Caleb. Di seberangku ada tetangga kami, Susan.


Ayah Susan bepergian ke penjuru kota untuk bekerja, jadi beliau memiliki mobil untuk mengantar jemput Susan setiap hari. Beliau menawari kami juga, tapi seperti kata Caleb, kami lebih suka berangkat lebih siang dan tak ingin membuatnya repot.

Para penjaga tes kebanyakan pekerja sukarela dari Abnegation walau ada juga seorang Erudite di salah satu ruang uji. Ada pula seorang Dauntless di ruang uji lainnya untuk menguji kami yang berasal dari Abnegation, karena peraturannya menyatakan kami tak boleh diuji oleh penguji yang berasal dari faksi yang sama. Peraturan juga menyatakan kami tak boleh mempersiapkan apa pun untuk tes itu, jadi aku tak tahu apa yang akan diujikan.

Pandanganku beralih dari Susan ke arah meja Dauntless di seberang ruangan. Mereka tertawa, berteriak, dan bermain kartu. Di barisan meja lainnya, kaum Erudite sibuk berdiskusi di antara tumpukan buku dan koran, mengejar ilmu pengetahuan tanpa henti.

Sekelompok gadis-gadis Amity berpakaian kuning dan merah duduk melingkar di lantai kafetaria. Mereka memainkan semacam permainan tepuk tangan dengan lagu berima. Tiap beberapa menit, aku mendengar tawa mereka saat harus ada yang dieliminasi dan duduk di tengah lingkaran. Di meja sebelah mereka, anak-anak laki-laki dari Candor sibuk merentangkan tangan. Mereka sepertinya berdebat tentang sesuatu, tapi pasti bukan masalah yang serius, karena beberapa dari mereka masih tersenyum.

Di meja Abnegation, kami duduk tenang dan menunggu. Aturan faksi kami mengatur bagaimana kami bersikap hingga menentukan preferensi pribadi. Aku ragu apakah semua Erudite mau belajar setiap saat atau setiap Candor menikmati debat penuh semangat, tapi mereka pun tak bisa menentang norma faksi seperti aku.

Nama Caleb yang berikutnya dipanggil. Dengan penuh percaya diri, ia berjalan menuju pintu keluar. Aku tak perlu mendoakan semoga ia beruntung atau meyakinkannya kalau ia tak perlu merasa gugup. Caleb tahu di mana tempatnya, dan sejauh yang kutahu, ia selalu tahu. Kenangan pertamaku tentangnya adalah saat kami berumur empat tahun. Ia memarahiku karena aku tak mau memberikan tali permainanku pada seorang anak perempuan di taman yang tak memiliki apa pun untuk dimainkan. Ia tak lagi sering menceramahiku sekarang, tapi aku masih terkenang tatapannya yang penuh teguran.

Aku pernah mencoba menjelaskan padanya kalau instingku tak sama sepertinya—bahkan tak terpikir olehku untuk memberikan kursi pada seorang pria Candor di dalam bus tadi—tapi ia tak'mengerti. “Lakukan apa yang harus kau lakukan,” ia selalu berkata seperti itu. Mudah baginya. Seharusnya mudah bagiku.

Perutku melilit. Aku menutup mata dan terus terpejam sampai sepuluh menit sampai akhimya Caleb kembali duduk.

Ia kelihatan pucat. Ia mengusapkan telapak tangan di celana seperti yang biasa kulakukan untuk menghapus keringat. Setelah selesai mengusap tangannya, jemarinya gemetar. Aku membuka mulut untuk bertanya sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar. Aku tak diizinkan untuk menanyakan hasil tesnya, dan ia dilarang untuk memberitahuku.

Seorang sukarelawan Abnegation menyebut nama-nama putaran selanjutnya. Dua dari Dauntless, dua dari Erudite, dua dari Amity, dua dari Candor, dan kemudian: “Dari Abnegation: Susan Black dan Beatrice Prior.”

Aku bangkit karena memang itu yang harus kulakukan. Tapi, jika semua terserah aku, aku lebih suka tetap di kursi sampai semua selesai. Rasanya seperti ada gelembung di dadaku yang membesar dalam hitungan detik, siap menghancurkan tubuhku dari dalam. Aku mengikuti Susan menuju pintu keluar. Orang-orang yang kulewati mungkin tak bisa membedakan kami. Kami mengenakan pakaian sama dan menata rambut kami dengan cara yang sama. Satu-satunya perbedaan adalah Susan tidak merasa hampir muntah. Dan, dari yang bisa aku simpulkan, tangannya tidak gemetar hebat sampai harus menggenggam pinggiran kemejanya agar tetap tenang.

Di luar kafetaria ada sepuluh ruangan berjajar. Ruangan itu semua hanya digunakan untuk Tes Kecakapan, jadi aku tak pernah berada di dalamnya. Tak seperti ruangan lain di sekolah ini, ruangan ini dipisahkan oleh cermin, bukan kaca. Aku melihat diriku sendiri, pucat dan ketakutan, berjalan menuju salah satu pintu. Susan menyeringai gugup padaku saat ia memasuki ruang 5 dan aku masuk ruang 6, di mana seorang wanita Dauntless menungguku.

Wajah wanita itu tak sekeras wajah para Dauntless muda yang pernah kulihat. Matanya kecil, hitam, dan tajam. Ia mengenakan blazer hitam—seperti setelan pria—dan jins. Hanya saat ia menutup pintu, aku bisa melihat tato di balik lehernya. Tato berupa elang hitam- putih dengan mata merah menyala. Jika jantungku tidak terasa seperti mau loncat ke tenggorokan, aku akan menanyakan apa artinya. Pasti ada artinya.

Cermin-cermin itu menutupi bagian dalam dinding ruangan. Aku bisa melihat bayanganku dari semua sudut. Jubah abu-abu ini menutupi punggungku, leher jenjangku, jemariku yang gemetaran. Langit-langit memendarkan warna putih. Di tengah ruangan, ada kursi dengan sandaran punggung seperti yang ada di dokter gigi, dengan sebuah mesin di sampingnya. Sepertinya tempat di mana sebuah kejadian buruk akan terjadi.

“Jangan khawatir,” ujar wanita itu, “tidak sakit.”

Rambutnya hitam dan lurus, tapi saat tertimpa cahaya, kutemukan beberapa helai uban.

“Duduklah dan santai saja” ujarnya. “Namaku Tori.”

Aku duduk di kursi itu dengan kikuk dan bersandar. Kuletakkan kepalaku di sandaran kepala. Lampunya membuatku silau. Tori sibuk dengan mesin di sebelah kananku. Aku mencoba fokus padanya dan bukan pada kabel-kabel di tangannya.

“Apa artinya elang itu?” aku keceplosan saat ia menempelkan kabel elektroda di dahiku.

“Aku belum pernah ketemu Abnegation yang ingin tahu sepertimu sebelumnya,” ujarnya sambil mengangkat alis ke arahku.

Aku merinding. Bulu kuduk di lenganku seperti berdiri semua. Rasa ingin tahuku adalah kesalahan. Sebuah pengkhianatan untuk nilai-nilai Abnegation.

Sambil bersenandung kecil, ia menempelkan kabel elektroda lainnya di dahiku dan menjelaskan, “Di beberapa belahan dunia di masa lalu, elang adalah simbol matahari. Saat aku memperoleh tato ini, aku tahu kalau aku selalu memiliki matahari di dalam diriku aku takkan takut akan gelap.”

Aku mencoba menahan diri untuk menanyakan pertanyaan selanjutnya, tapi tidak bisa. “Kau takut gelap?”

“Aku pernah takut akan gelap,” ia mengoreksi ucapanku. Ia menempelkan elektroda lainnya ke dahinya sendiri dan menyambungkannya dengan sebuah kabel. Ia mengangkat bahu. “Sekarang, tato itu mengingatkanku pada rasa takut yang sudah bisa kuatasi.”

Ia berdiri di belakangku. Aku mencengkeram sandaran tangan begitu kuat sampai tanganku memucat. Ia menarik beberapa kabel ke arahnya, lalu memasangkannya padaku, padanya sendiri, juga pada mesin di belakangnya. Kemudian, ia menyodorkan sebotol kecil cairan bening.

“Minum ini,” ujarnya.

"Apa ini?” rasanya tenggorokanku seperti bengkak. Susah payah aku menelannya. “Apa yang akan terjadi?”

"Tak bisa kuberi tahu. Percayalah padaku.”

Aku menarik udara dari paru-paru dan menenggak isi botol itu. Mataku terpejam.

Saat mataku terbuka, sekejap saja, tapi aku seperti berada di tempat lain. Aku berada di kafetaria sekolah lagi, tapi tak ada lagi meja-meja panjang. Aku melihat ke luar melalui dinding kaca, salju turun di luar. Di meja di hadapanku ada dua keranjang. Salah satunya berisi sebongkah keju dan yang lainnya berisi sebilah pisau sepanjang lengan bawahku.

Di belakangku, terdengar suara seorang wanita, “Pilih.”

“Kenapa?” tanyaku.

“Pilih,” ulangnya.

Aku melihat ke belakang, tapi tak ada siapa pun. Aku berbalik ke arah keranjang itu lagi. “Apa yang harus kulakukan dengan benda-benda ini?”

“Pilih!” teriaknya.

Saat ia berteriak padaku, rasa takutku hilang dan sikap keras kepalaku muncul. Aku marah dan menyilangkan tangan di dada.

“Terserah kau,” ujarnya.

Kedua keranjang itu menghilang. Aku mendengar ada suara pintu terbuka dan langsung berbalik untuk melihat siapa yang datang. Yang kulihat bukan “siapa”, melainkan “apa”. Seekor anjing berhidung mencuat berdiri beberapa langkah di hadapanku. Anjing itu membungkuk rendah dan bergerak perlahan ke arahku. Menyeringai, memperlihatkan, taringnya. Terdengar suara menggeram dan sekarang aku paham kenapa keju tadi bisa berguna. Atau juga pisaunya. Tapi sekarang sudah terlambat.

Aku berpikir untuk lari, tapi anjing itu akan berlari lebih cepat. Aku tak bisa pula bergulat dengan anjing itu. Kepalaku berdenyut-denyut. Aku harus membuat keputusan. Kalau aku bisa melompati salah satu meja itu dan menggunakannya sebagai pelindung—tidak aku terlalu pendek untuk melompati meja dan tak terlalu kuat untuk mengangkatnya.

Anjing itu menggeram. Aku hampir bisa merasakan suaranya bergema di kepalaku.

Buku pelajaran Biologi pernah menyebutkan kalau anjing bisa mencium rasa takut karena ada sejenis zat kimia yang dikeluarkan kelenjar manusia dalam bentuk rasa takut, zat kimia yang sama yang disekresikan mangsa anjing pada umumnya. Mencium rasa takut bisa mendorong anjing untuk menyerang. Anjing itu sudah mendekat beberapa inci. Kukunya menggores-gores lantai.

Aku tak bisa lari. Aku tak bisa berkelahi. Aku malah menarik napas dengan udara yang dipenuhi napas anjing dan berusaha tidak berpikir apa yang baru saja dimakan anjing itu. Tak ada warna putih di bola matanya. Hanya ada kilatan hitam.

Apalagi yang kutahu tentang anjing? Aku tak seharusnya melihat matanya. Itu tanda penyerangan. Aku ingat pernah meminta anjing peliharaan pada ayah waktu aku masih kecil. Dan sekarang, saat menatap anjing itu, aku tak bisa ingat mengapa aku pernah meminta hal seperti itu. Anjing itu makin mendekat dan masih menggeram. Jika melihat matanya adalah tanda penyerangan, lalu apa tanda kepatuhan?

Napasku masih terdengar kencang, tapi mulai tenang. Aku berlutut. Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah berbaring di depan anjing itu—berusaha membuat giginya sama tinggi dengan wajahku—tapi itulah pilihan terbaik yang kupunya. Aku menjulurkan kakiku ke belakang dan menopang tubuh dengan siku. Anjing itu makin mendekat dan makin dekat, sampai aku merasakan hangat napasnya di wajahku. Lenganku bergetar hebat.

Anjing itu menggonggong di telingaku dan aku menggertakkan gigi, menahan diri agar tidak teriak.

Ada sesuatu yang kasar dan basah menyentuh pipiku. Gonggongan anjing berhenti. Saat aku mendongakkan kepala untuk melihat sekali lagi, anjing itu terengah-engah. Menjilati wajahku. Aku jongkok sambil mengernyitkan dahi. Anjing itu menaikkan kakinya ke lututku dan menjilati daguku. Sejenak aku merinding saat menghapus tetesan liur dari kulitku, dan akhimya tertawa.

“Kau bukan hewan liar yang mengerikan, ya?”

Aku bangun perlahan agar tak mengejutkannya. Tapi, sepertinya anjing ini bukan anjing yang tadi kulihat beberapa detik yang lalu. Aku mengulurkan tangan hati-hati agar aku bisa cepat menariknya kembali jika diperlukan. Anjing itu menyentuhkan kepalanya ke tanganku. Mendadak aku senang, tadi aku tidak memilih pisau.

Aku mengedipkan mata dan saat membukanya, seorang anak kecil berbaju putih berdiri di seberang ruangan. Ia mengulurkan kedua tangannya dan berteriak, “Anak anjing!”

Saat anak perempuan itu berlari mendekati anjing di dekatku, aku membuka mulut untuk mengingatkannya. Tapi, aku terlambat. Anjing itu membalikkan badan. Bukannya menggeram, anjing itu langsung menggonggong. Menggertak. Dan menyerang. Otot- otot tubuhnya melengkung seperti kabel gulung. Anjing itu siap-siap melompat. Aku tak berpikir apa-apa lagi, aku melompat; mendorong tubuhku ke bagian atas tubuh anjing, berusaha meraih leher besamya dengan rengkuhan lenganku.

Kepalaku membentur tanah. Anjingnya menghilang, juga gadis kecil itu. Yang ada hanya aku sendiri—sekarang berada di dalam ruang uji yang kosong. Aku membalikkan tubuh perlahan dan tak menemukan bayanganku sendiri. Tak ada cermin. Aku mendorong pintu dan berjalan menuju aula. Tapi, ini bukan aula. Ini bus dan semua kursinya penuh.

Aku berdiri di lorong bus dan berpegangan di tiang. Di sebelahku, duduk seorang pria dengan korannya. Aku tak bisa melihat wajahnya yang tertutup koran, tapi aku bisa melihat tangannya. Penuh bekas luka, seperti bekas luka bakar. Tangan itu mencengkeram lembaran koran kuat-kuat seakan ia ingin meremasnya.

“Kau kenal pria ini?” tanyanya. Ia mengetuk gambar di halaman depan koran. Headline-nya tertulis: “Pembunuh Brutal Akhimya Tertangkap!”

Aku menatap kata “Pembunuh”. Sudah lama sejak terakhir kalinya aku membaca kata itu, tapi itu pun masih bisa membuatku ketakutan.

Gambar di bawah headline adalah gambar seorang pria muda berjenggot. Rasanya aku kenal ia, tapi aku tak ingat bagaimana bisa aku mengenalnya. Dan, pada saat yang bersamaan, aku rasa bukan ide yang baik untuk mengatakannya pada pria itu.

‘Jadi?” aku dengar nada marah di suaranya. “Kau mengenalnya?”

Ide buruk—bukan, ide yang sangat buruk. Jantungku berdebar-debar dan aku menggenggam tiang itu lebih kuat agar tanganku tak makin gemetar dan membuatku menyerah. Jika aku memberitahunya kalau aku kenal pria di dalam artikel itu, sesuatu yang buruk akan terjadi padaku. Tapi, aku bisa meyakinkannya kalau aku tak kenal. Aku bisa berdeham dan mengangkat bahu—tapi itu berarti aku harus berbohong.

Aku berdeham.

“Kau kenal?” ulangnya.

Aku mengangkat bahu.

‘Jadi?”

Aku gemetar. Ketakutanku tak masuk akal; ini cuma tes. Tidak nyata. “Nggak,” ujarku, sewajar mungkin. “Tidak tahu siapa ia.”

Ia berdiri dan akhimya aku bisa melihat wajahnya. Ia mengenakan kacamata hitam dan mulutnya melengkung menyeringai. Pipinya dipenuhi bekas luka, persis seperti yang ada di tangannya. Ia membungkuk kearahku. Napasnya bau rokok. Tidak nyata, aku meng- ingatkan diriku sendiri. Tidak nyata.

“Kau bohong,” ujarnya. “Kau bohong!”

“Tidak.”

“Aku bisa tahu dari matamu.”

Aku menegakkan tubuhku. “Kau tidak tahu apa- apa.”

“Kalau kau kenal dengannya,” ujarnya dengan suara rendah, “kau bisa menyelamatkanku. Kau bisa menyelamatkan-ku.”

Aku memicingkan mata. “Yah,” ujarku. Aku mengatupkan rahangku. “Aku tidak kenal.”
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar