Jumat, 02 Mei 2014

Divergent Indonesia - BAB 9

Divergent BAB 9

“Karena hari ini jumlah kalian ganjil, ada satu di antara kalian yang tidak akan berkelahi hari ini” ujar Four sambil melangkah menjauh dari papan di ruang latihan. Ia menatapku. Tidak ada nama yang tertulis di sebelah namaku.


Simpul di perutku terasa terbuka. Rasanya seperti lolos dari hukuman mati.

“Ini tidak bagus,” ujar Christina menyikutku. Ujung sikunya menusuk salah satu ototku yang nyeri—pagi ini rasanya aku punya lebih banyak otot nyeri daripada yang tidak nyeri—dan aku bekernyit.

“Ow.”

“Maaf” ujarnya. “Tapi lihat, aku melawan Tank.”

Aku dan Christina duduk bersebelahan saat sarapan. Sebelumnya, dia menutupiku dari seluruh penghuni kamar yang lain saat aku berganti baju. Aku tak memiliki teman sepertinya sebelumnya. Susan lebih suka bergaul dengan Caleb daripada denganku, dan Robert hanya mengikuti ke mana pun Susan pergi.

Kurasa aku tak pernah benar-benar memiliki teman, titik. Sulit untuk memiliki teman sejati saat tak seorang pun merasa diperbolehkan untuk menerima bantuan, atau bahkan berbicara tentang dirinya sendiri. Rasanya aku lebih mengenal Christina daripada aku mengenal Susan, padahal ini baru dua hari.

“Tank?” kulihat nama Christina di papan. Yang tertulis di sebelahnya “Molly”.

“Yeah, kaki tangan Peter yang kelihatan sedikit feminin itu,” ujarnya sambil mengangguk ke arah sekumpulan orang di sisi lain ruangan. Molly tinggi seperti Christina, tapi hanya itu persamaannya. Molly memiliki bahu lebar, kulit kecokelatan, dan hidung bulat.

“Tiga orang itu”—Christina menunjuk Peter, Drew, dan Molly bergantian—“anggap saja, tak terpisahkan sejak lahir. Aku benci mereka.”

Will dan Al berdiri saling berhadapan di masing- masing sudut arena. Mereka mengangkat tangan ke wajah untuk melindungi diri sendiri, seperti yang diajarkan Four, dan bergerak melingkar satu sama lain. Al setengah kaki lebih tinggi dari Will dan dua kali lebih lebar. Saat aku menatapnya, aku sadar bahkan seluruh bagian wajahnya besar—hidung besar, bibirnya besar, dan matanya pun besar. Pertarungan ini takkan berlangsung lama.

Aku melirik Peter dan teman-temannya. Drew lebih pendek dari Peter dan Molly, tapi posturnya seperti bongkahan batu dengan pundak yang selalu membungkuk. Rambutnya oranye kemerahan seperti warna wortel yang sudah matang.

“Ada apa dengan mereka?” tanyaku,

“Peter itu sangat jahat. Saat kami masih kecil ia sering berkelahi dengan anak-anak dari faksi lain. Saat orang dewasa datang melerai, ia akan menangis dan mengarang cerita kalau anak yang lain yang memulainya. Dan tentu saja, orang dewasa mempercayainya karena kami dari Candor dan kami tidak boleh bohong.”

Christina mengerutkan hidung dan menambahkah “Drew cuma anak buahnya. Aku ragu ia memiliki pikiran sendiri. Dan Molly... ia sejenis orang yang membakar semut dengan kaca pembesar hanya untuk melihat semut-semut itu menggelepar.”

Di arena, Al meninju rahang Will dengan keras, Aku bekernyit. Di seberang ruang, Eric menyeringai ke arah Al dan memainkan salah satu cincin di alisnya. : Will terjungkal ke samping. Tangannya menekan wajah dan menahan tinju Al selanjutnya dengan tangannya yang lain. Dari seringai di wajahnya, menahan pukulan itu sepertinya sama sakitnya dengan pukulannya yang diterimanya tadi. Pukulan Al memang pelan, tapi penuh tenaga.

Peter, Drew, dan Molly diam-diam menatap ke arah kami, lalu saling mendekatkan kepala untuk membisikkan sesuatu.

“Kurasa mereka tahu kalau kita membicarakan mereka,” kataku.

"Lalu? Mereka sudah tahu aku membenci mereka.”

“Mereka tahu? Kok bisa?”

Christina memasang senyum palsu dan melambaikan tangan. Aku menunduk dengan pipi memerah.

Aku tidak seharusnya bergosip. Bergosip itu tindakan menyenangkan diri sendiri.

Will mengulurkan kaki dan menjegal kaki Al sampai Al jatuh tersungkur ke tanah. Ia jatuh menimpa kakinya sendiri.

“Karena aku pernah bilang pada mereka,” ujar Christina sambil menggertakkan gigi. Giginya rapi di bagian atas, tetapi gigi bawahnya gingsul. Ia menatapku. “Kami belajar untuk benar-benar jujur atas perasaan kami di Candor. Banyak orang yang bilang padaku kalau mereka tak suka aku. Dan, ada beberapa orang juga yang belum berkata apa-apa. Siapa peduli?”

“Hanya saja, kita... tak seharusnya menyakiti hati orang lain,” kataku.

“Aku lebih suka menganggap kalau aku menolong mereka dengan cara membenci mereka,” ujarnya. “Aku mengingatkan mereka kalau mereka bukan anugerah Tuhan untuk umat manusia.”

Aku sedikit tertawa mendengarnya dan fokus melihat ke arena lagi. Will dan Al saling berhadapan beberapa detik lebih lama. Keraguan mereka lebih besar daripada sebelumnya. Will mengibas helai pucat rambutnya dari mata. Mereka menatap Four seakan mereka menunggunya untuk menghentikan pertarungan, tapi Four tetap berdiri dengan lengan terlipat tanpa respons apa-apa. Beberapa meter darinya, sedang memeriksa jamnya.

Setelah beberapa detik berlalu, Eric berteriak. “Apa kalian pikir ini hanya mengisi waktu luang? Apa kita harus berhenti sebentar untuk tidur siang? Ayo bertarung!”

“Tapi ...” tubuh Al menegak dan menurunkan tangannya. “Ini dinilai atau bagaimana? Kapan pertarungannya berakhir?” tanyanya.

"Pertarungannya berakhir saat salah satu dari kalian tak bisa melanjutkan,” ujar Eric.

“Menurut peraturan Dauntless,” ujar Four, “salah satu dari kalian juga bisa mengaku kalah.”

Eric menyipitkan matanya ke arah Four. “Itu menurut peraturan lama Dauntless,” ujarnya. “Di peraturan baru, tak ada yang mengaku kalah.”

“Seorang pemberani boleh mengakui kekuatan orang lain,” jawab Four.

“Seorang pemberani tak pernah menyerah.’' ;

Four dan Eric saling menatap satu sama lain selama beberapa detik. Rasanya aku seperti melihat dua jenis Dauntless—yang terhormat dan yang kejam. Tapi, aku tahu di ruangan ini, Ericlah, pemimpin termuda Dauntless, yang memegang kekuasaan.

Titik-titik keringat memenuhi dahi Al. Ia mengusapnya dengan bagian belakang tangannya.

“Ini konyol,” ujar Al menggeleng. “Apa gunanya memukulinya? Kita semua ada di faksi yang sama!

“Oh, menurutmu itu mudah?” tanya Will menyeringai. “Ayo, coba saja memukulku, dasar lambat.”

Wil kembali mengangkat tangan memasang kuda- kuda. Ada keteguhan yang tadinya tidak ada, terpancar di matanya. Apa ia berpikir ia benar-benar bisa menang? Satu serangan telak di kepala dan Al akan langsung mengalahkannya.

Itu baru bisa terjadi jika Al benar-benar bisa memukul Will. Al mencoba memukul, dan Will menunduk. Bagian belakang lehernya mengkilat penuh keringat. Ia memasukkan satu pukulan lagi, berkelit memutari Al, dan menendangnya kuat-kuat di belakang. Al tersentak ke depan dan membalikkan tubuh.

Saat aku masih kecil, aku membaca buku tentang beruang buas yang besar. Ada gambar seekor beruang yang berdiri dengan kedua kaki belakangnya, cakar kaki depannya terentang sambil mengaum. Seperti itulah Al sekarang. Ia menyerang Will dengan menangkap lengannya sehingga Will tak bisa ke mana-mana, lalu menghantam rahangnya dengan keras.

Aku melihat mata Will, yang berwarna hijau pucat seperti seledri, mulai meredup. Sepasang matanya berputar ke belakang dan tubuhnya terkulai kehilangan kekuatan. Ia lepas dari genggaman Al, tak sanggup menahan beban, dan tersungkur di lantai. Hawa dingin merayapi punggungku dan memenuhi dadaku.

Mata Al terbelalak. Ia membungkuk di samping Will dan menepuk-nepuk pipinya dengan satu tangan. Seisi ruangan mendadak hening saat kami menunggu respons Will. Beberapa detik, Will. tidak merespons. I Ia hanya berbaring di tanah dengan lengan tertekuk tertimpa tubuhnya sendiri. Kemudian ia mengedip jelas sekali tampak linglung.

“Bangunkan ia,” ujar Eric. Ia menatap tamak ke arah tubuh Will yang tersungkur, seperti Will itu seonggok makanan dan Eric sudah tak makan selama berminggu-minggu. Lengkung bibimya terlihat kejam.

Four membalikkan badan ke arah papan tulis dan melingkari nama Al. Kemenangan.

“Yang berikutnya—Molly dan Christina” teriak Eric. Al mengalungkan lengan Will ke bahunya dan menariknya keluar arena.

Christina menggertakkan tulang ruas jari-jarinya. Aku ingiri mengatakan semoga beruntung, tapi aku tak tahu apa gunanya. Christina tidak lemah, tapi ia jauh lebih ramping dari Molly. Kuharap tubuh tingginya bisa membantu.

Di seberang ruangan, Four memegangi pinggang Will dan menuntunnya keluar. Al berdiri sejenak di pintu dan menatap mereka pergi.

Kepergian Four membuatku gugup- Meninggalkan kami bersama Eric rasanya seperti menyewa pengasuh yang menghabiskan waktunya dengan mengasah pisau.

Christina merapikan rambutnya ke belakang telinga. Rambutnya sepanjang dagu, hitam, dan terjepit dengan sepasang jepit rambut perak. Ia menggertakkan tulang jemarinya yang lain. Ia kelihatannya gugup dan tak heran jika ia begitu—siapa yang tidak akan gugup setelah melihat Will pingsan seperti boneka perca?

Jika setiap konflik di Dauntless diakhiri dengan hanya satu orang yang tersisa, aku tak yakin apakah aku akan berhasil diinisiasi tahap ini. Akankah menjadi seperti Al yang berdiri menang di atas tubuh lawan, tahu bahwa akulah yang membuatnya jatuh tersungkur? Atau, akankah aku menjadi Will yang berbaring tak berdaya? Apakah menginginkan kemenangan itu artinya egois atau berani? Aku menggosokkan telapak tanganku yang berkeringat ke celana.

Aku tersentak kembali memperhatikan saat Christina menendang sisi tubuh Molly. Molly terkesiap dan menggertakkan gigi seakan hampir mengerang. Beberapa helai rambut hitamnya jatuh menutupi muka, tapi ia tak menyibakkannya.

Al berdiri di sampingku,tapi aku terlalu fokus menatap pertarungan baru ini untuk memandangnya atau menyelamatinya atas kemenangannya barusan. Kukira itulah yang ia inginkan. Meski aku tidak yakin.

Molly menyeringai ke arah Christina dan tanpa peringatan apa-apa, ia menukik sambil mengulurkan tangan, menyerang perut Christina. Ia memukul Christina dengan telak, membuat Christina tersungkur dan mengunci tubuhnya di tanah. Christina mendorongnya, tapi Molly terlalu berat dan tidak bergerak sedikitpun.

Ia memukul dan Christina mengelak, tapi Molly memukulnya lagi, dan lagi, sampai akhimya kepalan tangannya membentur rahang, hidung, dan mulut Christina. Tanpa berpikir apa-apa, aku meraih lengan Al dan meremasnya sekuat yang kubisa. Aku hanya memerlukan sesuatu untuk kupegang. Darah mengucur di wajah samping Christina dan ada percikan darah yang mengenai tanah di samping pipinya: Untuk pertama kalinya, aku berdoa agar seseorang jatuh pingsan, Tapi, Christina tidak pingsan. Ia berteriak dan menarik tangannya yang masih bebas. Ia meninju telinga Molly dan membuat gadis itu kehilangan keseimbangan sehingga Christina bisa menggeliat bebas. Ia kembali berdiri ditopang lutut sambil memegangi wajah dengan satu tangan. Darah yang mengalir dari hidungnya terlihat kental dan gelap, melumuri jari-jari tangannya dalam hitungan detik. Christina kembali berteriak dan merangkak menjauh dari Molly. Aku tahu dari bahunya yang bergetar, Christina sedang menangis. Tapi, aku hampir tak bisa mendengar suaranya karena telingaku sendiri tengahberdenyut-denyut ngeri.

Ayolah, pingsan saja.

Molly menendang sisi tubuh Christina dan membuatnya jatuh telentang. Al mengulurkan tangannya dan menarikku mendekat ke sisinya. Ia menggertakkan gigi, menahan tangis. Aku memang tak punya simpati untuk Al di malam pertama kami tiba di sini, tapi aku belum berubah menjadi orang yang kejam. Pemandangan Christina yang memegangi rusuknya membuatku ingin naik ke arena dan melerai mereka berdua.

“Stop!” jerit Christina saat Molly menarik kakinya untuk sekali lagi menendang. Ia mengulurkan tangan ke depan. “Stop! Aku ...” ia terbatuk. “Aku menyerah.” Molly tersenyum dan aku menghela napas lega. Al juga menghela lega. Dadanya naik turun di samping bahuku.

Eric berjalan ke tengah arena. Langkahnya lambat dan berdiri di samping Christina dengan lengan terlipat. Ia berkata dengan tenang, “Maaf, apa yang kau katakan barusan? Kau menyerah?”

Christina bangkit. Saat ia menjejakkan tangan di tanah sebagai tumpuan, ada bekas telapak tangan kemerahan tercetak di sana. Ia menekan hidungnya untuk menghentikan pendarahan dan mengangguk.

“Bangun,” ujar Eric. Jika pria itu berteriak, aku mungkin tidak akan merasa sengeri ini. Jika ia teriak, aku akan tahu bahwa berteriak adalah hal terburuk yang bisa ia rencanakan. Tapi, suaranya yang tenang dan kata-katanya yang singkat membuatku merinding. Eric menangkap lengan Christina, menyeretnya keluar melalui pintu.

“Ikut aku,” ujarnya pada kami semua.

Dan kami menurut.

Aku merasakan debur sungai bergema di dadaku.

Kami berdiri di dekat susuran. The Pit hampir kosong. Sekarang tengah hari, tapi rasanya seperti malam tak berganti selama beberapa hari.

Jika ada orang Dauntless lagi di sini aku ragu ada seseorang yang akan menolong Christina. Kami sedang bersama Eric, itu masalahnya, dan masalah lainnya, Dauntless memiliki peraturan berbeda—-peraturan yang menyatakan bahwa kebrutalan bukan kekerasan.

Eric mendorong Christina ke susuran itu.

“Panjat,” ujarnya.

“Apa?” ujar Christina seakan ia berharap Eric bisa melunak, tapi matanya yang melebar dan wajahnya yang berubah abu-abu, menunjukkan hal sebaliknya. Eric tidak akan melunak.

“Panjat susuran itu,” kata Eric lagi sambil mengucapkan satu-demi satu kata itu perlahan. “Kalau kau bisa menggelantung di atas jurang selama lima menit, akan kulupakan kepengecutanmu. Kalau kau tak bisa, aku takkan mengizinkanmu melanjutkan inisiasi.”

Susuran itu sempit dan terbuat dari logam. Debur yangtepercik daribatas sungai membuat susuran itu licin dan dingin. Bahkan, jika Christina cukup berani untuk menggelantung di susuran itu selama lima menit, ia takkan bisa bertahan. Ia harus memutuskan untuk keluar dari Faksi Dauntless atau menantang maut.

Saat aku menutup mata, aku bisa melihatnya jatuh ke bebatuan curam di bawah sana, itu membuatku gemetar.

“Baik,” ujarnya. Suaranya bergetar.

Ia cukup tinggi untuk mengayunkan kakinya melewati susuran. Kakinya gemetar. Ia menempelkan jempol kakinya ke tepian bangunan saat ia mengangkat kaki lainnya ke atas. Sambil berdiri menghadap kami, Christina mengusap tangannya ke celana dan berpegangan di susuran dengan kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Kemudian, ia mengangkat kakinya yang berada di pinggiran. Lalu, kaki satunya lagi. Aku melihat wajahnya di antara jeruji pembatas. Pendiriannya begitu teguh. Bibimya merapat kuat.

Di sebelahku, Al mengeset jam tangannya.

Untuk satu setengah menit pertama, Christina baik-baik saja. Tangannya tetap kuat menggenggam susuran dan lengannya tidak gemetar. Aku mulai berpikir ia akan berhasil melaluinya dan menunjukkan pada Eric betapa bodohnya kalau pria itu sampai meragukannya.

Tapi, kemudian debur sungai membentur dinding dan hempasannya mengenai punggung Christina. Wajahnya membentur pembatas dan ia berteriak. Tangannya tergelincir, hanya ujung jarinya yang bertahan mencengkeram jeruji. Ia mencoba untuk menggenggam lebih kuat, tapi tangannya sekarang basah.

Jika aku menolongnya, Eric akan membuatku bernasib sama seperti Christina. Akankah aku membiarkannya jatuh menemui ajal atau aku akan mengundurkan diri untuk keluar dari faksi? Mana yang lebih buruk: diam saja sementara seseorang akan mati atau diasingkan tanpa memiliki apa-apa?

Orangtuaku takkan memiliki masalah menjawab pertanyaan itu.

Tapi, aku bukan orangtuaku.

Seingatku, Christina belum pernah menangis sejak kita tiba di sini, tapi sekarang wajahnya kusut dan ia menangis. Tangisannya lebih kuat dari suara sungai. Satu ombak lagi menerjang dinding dan percikannya membasahi tubuhnya. Salah satu tetesnya mengenai pipiku. Tangannya tergelincir lagi, dan kali ini satu ja rinya lepas dari pegangan. Sekarang, Christina hanya bergantung dengan empat jari.

"Ayo Christina,” kata Al, suara rendahnya terdengar jelas. Christina menatap Al. Al menepukkan tangan. "Ayo, pegang lagi. Kau bisa melakukannya. Pegang.”

Bahkan, akankah aku cukup kuat untuk memeganginya? Akankah usahaku untuk menolongnya sepadan jika aku tahu aku terlalu lemah untuk melakukannya?

Aku sadar semua pertanyaan itu hanya alasan. Manusia akan menciptakan alasan apa pun untuk menoleransi hal jahat; itulah kenapa penting untuk tidak bergantung pada alasan-alasan semacam itu. Kata-kata ayah.

Christina mengayunkan lengannya, mencoba meraih susuran. Tak ada lagi yang menyemangatinya. Tapi, Al menepukkan tangannya dan berteriak. Matanya menatap erat ke arah Christina. Kuharap aku bisa. Kuharap aku bisa bergerak, tapi aku hanya menatapnya dan bertanya-tanya sudah berapa lama aku ada di situasi egois yang menjijikkan ini.

Aku menatap jam Al. Sudah lewat empat menit. Ia menyikut bahuku dengan keras.

“Ayo,” kataku. Suaraku seperti bisikan. Aku berdeham. ‘Tinggal satu menit,” kataku, kali ini lebih keras. Tangan Christina yang satunya lagi berhasil menangkap susuran. Lengannya bergetar begitu kuat, sampai aku bertanya-tanya apakah sekarang ada gempa dan mengguncangkan pandanganku tanpa kusadari.

“Ayo Christina,” kataku dan Al. Saat suara kami berpadu, kuyakin mungkin aku bisa cukup kuat untuk membantunya.

Satu debur ombak lagi membentur punggung Christina dan ia menjerit saat kedua tangannya lepas dari susuran. Aku menjerit. Suara itu kedengarannya bukan seperti suaraku sendiri.

Tapi, Christina tidak jatuh. Ia menangkap jeruji pembatas. Jemarinya meluncur menuruni jeruji logam sampai aku tak bisa melihat kepalanya lagi. Hanya jemarinya yang bisa kulihat.

Jam Al menunjukkan 5.00.

“Sudah lima menit,” sembur Al arah Eric.

Eric memeriksa jamnya sendiri. Saat ia memiringkan pergelangan tangannya, perutku seperti terpelintir dan aku tak bisa bernapas. Aku teringat saudara Rita yang tergeletak di pelataran di bawah jalur kereta. Anggota tubuhnya patah ke sudut yang tak beraturan; Rita menjerit dan menangis. Aku teringat diriku sendiri yang membalikkan badan.

“Baik,” kata Eric. “Kau bisa naik, Christina.”

Al berjalan ke arah susuran.

“Tidak,” kata Eric. “Ia harus melakukannya sendiri.”

“Tidak, ia tidak perlu seperti itu,” Al mengerang “Ia sudah melakukan apa yang kau suruh. Ia bukan pengecut. Ia melakukan apa yang kau minta.”

Eric tidak menjawab. Al membungkuk di susuran dan meraih pergelangan tangan Christina. Christina menangkap lengan bawah Al. Al mengangkatnya ke atas dengan wajah memerah penuh frustrasi. Aku berlari untuk membantu mereka. Seperti yang kukira, aku terlalu pendek untuk melakukan banyak hal. Tapi, aku mendorong bagian bawah bahu Christina begitu ia naik cukup tinggi. Aku dan Al menarik tubuhnya melewati pembatas. Christina tersungkur di lantai. Wajahnya masih berlumur darah bekas pertarungannya tadi. Punggungnya basah kuyup. Tubuhnya bergetar hebat.

Aku berlutut di sampingnya. Matanya menatapku, lalu ganti menatap Al, dan kami bertiga menghela napas bersama-sama.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar