Kamis, 01 Mei 2014

Divergent Indonesia - BAB 3

Divergent BAB 3

Aku terbangun dengan telapak tangan basah dan serangan rasa bersalah di dada. Aku berbaring di kursi di ruangan penuh cermin. Saat aku memiringkan kepala ke belakang, kulihat ada Tori di belakangku. Ia menggigit bibir dan mencabut elektroda dari kepala kami. Aku menunggunya mengatakan sesuatu tentang tes ini—tesnya sudah selesai, atau aku mengerjakan tesnya dengan baik, walau entah apa ukuran bahwa aku bisa melakukan tes ini dengan baik?—tapi, ia tak berkata apa-apa. Ia cuma menarik kabel-kabel dari dahiku.


Aku duduk tegak dan menggosokkan telapak tanganku yang berkeringat di celana. Pasti aku sudah melakukan kesalahan, bahkan kalaupun itu cuma terjadi di dalam benakku. Apa tatapan aneh di wajah Tori itu karena ia tak tahu bagaimana caranya memberi tahu kalau betapa buruknya aku? Kuharap hanya itu yang akan ia ucapkan.

“Yang tadi,” ujarnya, “membingungkan. Permisi, aku akan segera kembali.”

Membingungkan?

Aku menekuk lutut sampai ke dada dan membenamkan wajah ke sana. Rasanya aku mau menangis karena air mata mungkin bisa membuatku lega, tapi aku tidak bisa. Bagaimana kau bisa gagal dalam tes yang kau sendiri tak diizinkan untuk melakukan persiapan?

Setelah beberapa lama, aku makin gugup. Kuusap telapak tanganku beberapa detik sekali karena makin berkeringat—atau aku melakukannya hanya karena itu membuatku merasa lebih tenang. Apa jadinya kalau mereka memberitahuku aku tidak cocok berada di faksi mana pun? Aku harus tinggal di jalanan, dengan mereka yang tak memiliki faksi. Aku tak bisa melakukannya. Hidup tanpa perlindungan faksi bukan sekadar hidup miskin dan tidak nyaman; tapi juga hidup terpisah dari masyarakat, terpisah dari hal yang terpenting dalam hidup: komunitas.

Ibu pernah berkata kalau kita tidak bisa bertahan hidup sendiri, tapi kalaupun kita bisa, kita tidak akan mau melakukannya. Tanpa faksi, kita takkan memiliki tujuan dan alasan hidup.

Aku menggeleng. Aku tak boleh berpikir seperti itu. Aku harus tetap tenang.

Akhimya, pintu terbuka. Tori pun masuk. Aku mencengkeram sandaran tangan kursi.

“Maaf membuatmu khawatir,” ujar Tori. Ia berdiri di dekat kakiku dengan tangan tersimpan di saku. Wajahnya kelihatan tegang dan pucat.

“Beatrice, hasil tesmu tak bisa disimpulkan,” ujarnya. “Biasanya, setiap tahap simulasi akan mempersempit satu atau lebih jenis Faksi yang ada. Tapi dalam kasusmu, hanya ada dua faksi yang dicoret.”

Aku menatapnya. “Dua?” tanyaku. Tenggorokanku tercekat sampai susah untuk berbicara.

“Kalau tadi kau langsung membuang pisau dan memilih keju, simulasi akan membawamu ke skenario berbeda yang nantinya akan menunjukkan kalau kecakapanmu adalah Amity. Karena tidak terjadi, itu artinya Amity dicoret.” Tori menggaruk bagian belakang lehernya. “Biasanya, simulasi berjalan secara linear dengan mengunci simbol satu faksi dan membuang simbol faksi sisanya. Pilihan yang kau buat bahkan tidak memberi jalan untuk Candor, kemungkinan berikutnya, untuk dibuang, jadi aku harus mengubah simulasi dengan membawamu ke dalam bus. Dan, keteguhanmu untuk berbohong membuang kemungkinan Candor.” Ia sedikit tersenyum. “Tak perlu khawatir. Hanya Candor- lah yang akan jujur dalam kasus itu.”

Satu ikatan beban di dadaku melonggar. Mungkin aku bukan orang seburuk itu.

“Tapi, menurutku itu tak sepenuhnya benar. Yang selalu berkata benar adalah Candor, ... dan Abnegation,” ujarnya. “Dan di sanalah masalahnya.”

Mulutku terbuka saking terkejutnya.

“Di satu sisi, kau melompat ke atas anjing daripada membiarkan gadis kecil itu diserang adalah respons khas Abnegation ... tapi di sisi lain, saat pria itu bilang kalau kebenaran yang kau sampaikan itu akan menyeIamatkannya, kau masih menolak mengatakannya bukan respons khas Abnegation.” Ia menghela napas. “Tidak kabur dan berani menghadapi anjing menunjukkan kau Dauntless, dan itu berlaku juga kalau kau mengambil pisaunya. Tapi tidak kau lakukan.”

Ia berdeham lalu melanjutkan. “Respons kepandaianmu saat menghadapi anjing itu menandakan- “ hubungan sejajar yang kuat dengan kaum Erudite. Aku tak tahu apa yang membuatmu ragu pada tes tahap pertama, tapi—”

“’Hinggu,” aku memotong pembicaraannya. “Jadi, kau tak tahu apa bakat kecakapanku?”

“Ya dan tidak. Kesimpulanku,” ia menjelaskan, “kau menunjukkan tingkat kecakapan yang seimbang diantara Abnegation, Dauntless, dan Erudite. Mereka yang memiliki hasil seperti ini adalah, ...” ia melirik ke belakang seakan ia sedang menunggu seseorang muncul di belakangnya. “... disebut ... Divergent.” Ia mengatakan kata terakhir itu begitu lirih sampai aku hampir tak bisa mendengarnya. Wajahnya yang tegang dan cemas itu kembali. Tori berjalan mengitari kursi dan membungkuk ke arahku.

“Beatrice,” ujarnya, “dalam keadaan apa pun, kau tak boleh memberitahukan hal ini pada siapa pun: Ini hal yang sangat penting”

“Kami tidak boleh memberitahukan hasil tes kami.” Aku mengangguk. “Aku tahu.”

“Bukan.” Tori menopang tubuhnya dengan lutut di sandaran kursi dan lengannya berada di sandaran tangan. Wajah kami begitu dekat. “Yang ini berbeda. Maksudku, kau tak perlu memberitahukan hasilnya pada siapa-siapa sekarang; maksudku kau tidak boleh memberitahukannya pada siapa pun, selamanya, apa pun yang terjadi. Divergent—mereka yang memiliki perbedaan—benar-benar berbahaya. Kau mengerti?” Aku tidak mengerti—bagaimana bisa hasil tes yang tidak pasti bisa berbahaya?—tapi aku tetap saja mengangguk. Lagi pula, aku memang tak mau memberitahukan hasil tesku pada siapa pun.

“Oke,” aku mengangkat tanganku dari sandaran tangan kursi berdiri. Aku merasa limbung.

“Kusarankan,” ujar Tori, “kau pulang. Kau harus berpikir masak-masak dan menunggu dengan yang lain takkan ada gunanya.”

“Aku harus bilang dulu pada kakakku ke mana aku pergi.”

“Biar aku yang bilang.”

Aku menyentuh dahi dan berjalan meninggalkan ruangan sambil menatap lantai. Aku tak tahan menatap matanya. Aku tak bisa memikirkan tentang Upacara Pemilihan besok.

Sekarang, semua bergantung pilihanku. Bagaimanapun hasil tesnya.

Abnegation, Dauntless. Erudite.

Divergent.

Kuputuskan tidak naik bus. Kalau aku pulang lebih cepat, ayah akan tahu saat ia memeriksa log rumah nanti dan aku harus menjelaskan apa yang terjadi. Kuputuskan jalan kaki saja. Aku harus mencegat Caleb sebelum ia menceritakan apa pun pada ayah ibu, tapi Caleb bisa menyimpan rahasia.

Aku berjalan di tengah jalan. Bus-bus cenderung berjalan di lajur pinggir, jadi lebih aman berjalan di sini. Kadang-kadang di jalanan dekat rumahku, aku bisa menemukan garis kuning yang dulu pernah ada. Kami tak memerlukannya lagi sekarang karena mobil- nya tidak banyak. Kami tak perlu lampu merah juga, tapi di beberapa tempat, lampu lalu lintas itu menggantung berbahaya di atas jalanan dan bisa saja jatuh berserakan kapan saja.

Renovasi berjalan lambat di penjuru kota yang serupa seperti paduan dari gedung-gedung baru yang bersih dan gedung-gedung tua yang hampir roboh. Sebagian gedung baru berada di dekat rawa yang dulunya adalah sebuah danau. Agen sukarelawan Abnegation tempat ibu bekerja yang mengurusi sebagian besar renovasi ini.

Saat aku melihat kehidupan Abnegation dari ka- camata orang luar, menurutku itu hidup yang indah. Saat aku melihat keluargaku dalam harmoni, saat kami pergi ke acara makan malam dan semuanya saling membersihkan meja setelah pesta tanpa diminta; saat aku melihat Caleb membantu orang asing membawakan belanjaannya, aku jatuh cinta dengan cara hidup seperti itu berkali-kali. Tapi, ketika aku mencoba untuk menerapkannya, aku gagal. Aku merasa itu bukan diriku.

Tapi, jika aku memilih faksi yang berbeda, aku mengorbankan keluargaku. Selamanya.

Takjauh dari sektor Abnegation di kota ini adalah jajaran rangka-rangka bangunan dan trotoar rusak yang sekarang tengah kulewati. Ada tempat-tempat di mana jalannya benar-benar rusak. Pipa pembuangan air terlihat di mana-mana dan jalur kereta bawah tanah yang kosong dan benar-benar harus kuhindari. Aku pun melewati tempat yang begitu bau oleh busuknya sampah dan limbah, sampai-sampai aku harus menutup hidung.

Di sinilah para factionless atau mereka yang tak dilindungi faksi, tinggal. Karena mereka gagal memenuhi inisiasi di faksi mana pun yang mereka pilih. Mereka hidup miskin dan melakukan pekerjaan yang tak mau dilakukan siapa pun. Mereka tukang bersih-bersih, pekerja konstruksi, dan pengumpul sampah. Ada pula yang bekerja sebagai buruh kain, operator kereta api, dan sopir bus. Imbalan atas pekerjaan mereka adalah makanan dan pakaian, tapi seperti kata ibu, itu tidak cukup.

Aku melihat seorang pria factionless berdiri di sudut jalan di depan sana. Ia memakai baju lusuh berwarna cokelat dan kulihat ada kulit bergelambir di rahangnya. Ia menatapku dan aku balik menatapnya. Aku tak bisa mengalihkan pandangan.

 “Permisi,” ujarnya. Suaranya terdengar parau. “Apa kau memiliki sesuatu yang bisa kumakan?”

Tenggorokanku tercekat. Ada suara menggema di kepalaku, berkata, tetap menunduk dan terus berjalan.

Tidak. Aku menggeleng. Aku tidak boleh takut pada pria ini. Ia membutuhkan bantuan dan aku harus menolongnya.

“Um... ya,” ujarku. Aku meraih sesuatu ke dalam tas. Ayah selalu memintaku menyimpan makanan di dalam tas untuk alasan ini. Aku menawarkan pria itu sekantong irisan apel kering.

Ia mengulurkan tangan, tapi bukannya mengambil kantong itu, tangannya mencengkeram tanganku. Ia tersenyum. Ada celah di gigi depannya.

“Ya ampun, mataku begitu indah,” ujarnya. “Sa- yang sekali, yang lainnya kelihatan sederhana.” Hatiku berdegup kencang. Aku berusaha menarik tanganku, tapi ia mencengkeram makin kuat. Aku mencium napasnya yang berbau tajam dan menjijikkan.

“Kau kelihatannya terlalu muda untuk jalan-jalan sendiri, Nak,” ujarnya.

Aku tak berusaha menarik tanganku lagi dan berdiri lebih tegak. Aku tahu, aku kelihatan muda. Tak perlu diingatkan. “Aku lebih tua dari kelihatannya,” jawabku. “Umurku enam belas.”

Bibirnya menyeringai lebar. Aku bisa melihat gerahamnya yang kelabu dengan lubang hitam di sebelahnya. Aku tak tahu apakah ia tersenyum atau menyeringai. “Lalu, bukankah hari ini hari yang spesial untukmu? Hari sebelum kau memilih?”

“Lepaskan aku,” kataku. Aku mendengar suara denging di telinga. Suaraku terdengar jelas dan keras—bukan seperti yang kuharapkan. Rasanya bukan seperti diriku.

Aku siap. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku membayangkan diriku sendiri menarik siku dan memukulnya. Aku melihat kantong apel itu melayang. Aku mendengar suara langkah kakiku yang berlari. Aku siap beraksi.

Namun, kemudian ia melepaskan genggamannya, mengambil apelnya, lalu berkata, “Pilih dengan bijak, Gadis Kecil.”
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar