Kamis, 01 Mei 2014

Divergent Indonesia - BAB 5

Divergent BAB 5

Bus yang kami tumpangi ke Upacara Pemilihan penuh dengan orang-orang berbaju dan bercelana abu-abu. Seberkas cahaya matahari pucat menembus kumpulan awan seperti bulatan ujung rokok yang terbakar. Aku tidak akan pernah merokok—merokok erat sekali dengan kesan kesombongan—tapi sekumpulan orang Candor merokok di depan gedung saat kami turun dari bus.

Aku harus menengadahkan kepala untuk melihat bagian atas The Hub. Walau begitu, tetap saja bagian teratasnya hilang ditelan awan. Ini gedung tertinggi di kota. Aku bisa melihat lampu di atap dua menaranya dari jendela kamarku.

Aku mengikuti orangtuaku turun dari bus. Caleb kelihatannya tenang, tapi begitu pula denganku, jika aku tahu apa yang akan kulakukan. Namun, aku malah merasa seakan jantungku akan melompat keluar kapan saja. Aku meraih lengan Caleb agar bisa tegak berdiri saat menaiki tangga depan.

Lift begitu ramai, jadi ayah dengan sukarela memberikan tempatnya pada sekelompok orang Amity. Kami malah menaiki tangga, mengikutinya tanpa banyak pertanyaan. Kami memberikan contoh untuk teman-teman sesama anggota faksi. Tak lama, kami bertiga menjadi bagian dari sekelompok orang berpakaian abu-abu yang serentak menaiki tangga diterangi cahaya seadanya. Aku menyamakan langkahku. Suara juntai jubah abu-abu yang menggesek kaki yang bergema di telingaku dan kesamaan orang-orang yang mengelilingiku saat ini membuatku percaya aku bisa memilih faksi ini. Aku bisa membaur dengan pola pikir khas Abnegation, selalu mementingkan orang lain.

Tapi, kemudian kakiku sakit. Aku susah bernapas. Sekali lagi pikiranku terpecah. Kami harus menaiki dua puluh lantai untuk mencapai ruang Upacara Pemilihan.

Ayah memegang pintu di lantai dua puluh agar tetap terbuka dan berdiri seperti penjaga saat setiap kaum Abnegation berjalan melewatinya. Aku ingin menunggunya, tapi kerumunan orang di belakang mendorongku ke depan keluar dari jalur tangga dan memasuki ruangan di mana aku akan memutuskan masa depanku.

Ruangan ini disusun oleh beberapa lingkaran konsentris. Di sisi-sisinya berdiri anak-anak berusia enam belas tahun dari setiap faksi. Kami belum bisa dipanggil anggota faksi. Keputusan kami hari inilah yang membuat kami menjadi peserta inisiasi. Kami akan menjadi anggota jika kami menyelesaikan inisiasi.

Kami berbaris berdasarkan urutan abjad nama belakang kami, yang mungkin akan kami tanggalkan hari ini. Aku berdiri di antara Caleb dan Danielle Pohler, gadis Amity yang berpipi kemerahan dan gaun kuning.

Barisan bangku untuk keluarga kami berada di lingkaran selanjutnya. Semua disusun dalam lima bagian sesuai dengan masing-masing faksi. Tidak semuanya datang ke Upacara Pemilihan, tapi cukup banyak untuk membuat orang-orang yang datang kelihatan ramai.

Tanggung jawab menyelenggarakan upacara ini dilakukan bergiliran oleh setiap faksi. Kali ini giliran Abnegation. Marcus yang akan memberikan pidato pembuka dan membacakan nama-nama dalam urutan terbalik. Caleb akan memilih sebelum aku.

Di lingkaran terakhir ada lima mangkuk logam yang begitu besar sampai bisa menyembunyikan tubuhku jika aku meringkuk. Masing-masing mangkuk berisi barang-barang yang mewakili masing-masing faksi: Batu abu-abu untuk Abnegation, air untuk Erudite, tanah untuk Amity, batu bara pijar untuk Dauntless, dan kaca untuk Candor.

Saat Marcus memanggil namaku, aku akan berjalan ke tengah tiga lingkaran konsentris. Aku tidak boleh bicara. Ia akan memberiku sebilah pisau. Pisau itu kugoreskan ke tangan dan meneteskan darahku ke dalam mangkuk faksi yang kupilih.

Darahku di atas bebatuan itu. Darahku mendesis di atas batu bara pijar.

Sebelum ayah ibu duduk, mereka berdiri di hadapan aku dan Caleb. Ayah mencium keningku dan menepuk bahu Caleb sambil tersenyum lebar.

“Sampai ketemu lagi,” ujarnya. Tanpa ada jejak keraguan.

Ibu memelukku dan pertahananku yang tak seberapa hampir saja runtuh. Aku mengatupkan rahang dan menatap langit-langit. Ada lentera bola dunia yang tergantung di sana dan menerangi ruangan dengan cahaya biru. Lama sekali ibu memelukku, bahkan setelah aku membiarkan lenganku jatuh tak memeluknya lagi. Sebelum ia melepaskan pelukan, ibu membisikkan sesuatu di telingaku. “Ibu sayang kamu. Apa pun yang terjadi.”

Aku mengernyit ke arah ibu saat beliau berjalan menjauh. Ibu tahu apa yang mungkin akan kulakukan. Pasti ibu tahu. Kalau tidak, ibu takkan merasa perlu mengatakannya.

Caleb menggenggam tanganku. Ia meremas telapak tanganku begitu kuat, tapi aku tak melepaskannya. Terakhir kali kami berpegangan tangan adalah saat pemakaman Paman. Saat itu ayah menangis. Sekarang, kami saling membutuhkan kekuatan satu sama lain, persis seperti waktu itu.

Ruangan mulai penuh. Aku seharusnya mengamati Dauntless. Seharusnya aku mencari informasi sebanyak mungkin, tapi aku hanya bisa melihat lentera di penjuru ruangan. Aku mencoba berkonsentrasi menatap cahaya kebiruan itu.

Marcus berdiri di podium yang berada di antara barisan Erudite dan Dauntless. Ia berdeham di depan mikrofon.

“Selamat datang,” ujarnya. “Selamat datang di Upacara Pemilihan. Selamat datang di hari di mana kita menghormati filosofi demokratis para leluhur kita, yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memilih caranya menjalani hidup di dunia ini.”

Atau, dalam kasusku, satu dari lima cara yang telah ditentukan. Aku meremas jari-jari Caleb sekuat ia meremas jari-jariku.

“Para penerus kita sekarang telah berusia enam belas tahun. Mereka berdiri di tebing kedewasaan dan sekarang mereka yang menentukan sendiri akan menjadi apa mereka nantinya.” Suara Marcus terdengar khidmat dan memberi penekanan yang sama di tiap katanya. “Beberapa puluh tahun lalu, leluhur kita menyadari bahwa bukan ideologi politik, kepercayaan religius, ras, atau nasionalisme yang bisa disalahkan atas dunia yang berperang. Mereka lebih yakin bahwa itu kesalahan sifat manusia—kecenderungan manusia untuk berbuat jahat, dalam bentuk apa pun. Maka, para leluhur membagi dunia dalam lima faksi yang bertujuan untuk menghapus sifat-sifat yang dianggap bertanggung jawab atas kekacauan di dunia.”

Mataku menatap bergantian ke arah mangkuk- mangkuk di tengah ruangan. Apa yang kupercayai? Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu.

“Mereka yang tidak menyukai peperangan, membentuk Amity.”

Kaum Amity tersenyum satu sama lain. Mereka mengenakan pakaian nyaman yang berwarna merah atau kuning. Tiap kali aku melihat mereka, sepertinya mereka baik, penuh kasih sayang, dan lainnya. Tapi, bergabung dengan mereka tak pernah menjadi pilihanku.

“Mereka yang tak menyukai ketidaktahuan, menjadi Erudite.”

Mencoret Erudite dari daftarku adalah bagian pilihanku yang termudah.

“Mereka yang tidak menyukai kepalsuan, membentuk Candor.”

Aku tak pernah suka Candor.

“Mereka yang tak menyukai pamrih dan egoisme, membentuk Abnegation.”

Aku tak menyukai pamrih dan egoisme. Sungguh aku tidak suka.

“Dan, mereka yang membenci kepengecutan adalah para Dauntless.”

Tapi, rasa egoisku masih tetap ada. Aku sudah mencoba selama enam belas tahun dan aku tak pernah merasa benar-benar tak memiliki ego dan pamrih.

Kakiku seperti lumpuh. Rasanya seperti tak ada tanda kehidupan. Dan, aku jadi bertanya-tanya bagaimana aku bisa berjalan saat namaku dipanggil nanti.

“Dengan bekerja sama, kelima faksi ini hidup damai selama bertahun-tahun. Masing-masing berkontribusi untuk tiap sektor masyarakat yang berbeda. Abnegation memenuhi kebutuhan kita akan pemimpin tanpa pamrih di pemerintahan. Candor memberikan kita pemimpin vokal dan bisa dipercaya di dunia hukum. Erudite menyediakan guru-guru dan para peneliti yang pandai. Amity memberikan para konselor dan perawat yang penuh pengertian. Dan, Dauntless memberikan kita semua perlindungan, baik dari dalam maupun luar dunia kita sendiri. Tapi, pencapaian masing-masing faksi itu tak terbatas hanya di area ini. Kami memberikan satu sama lain lebih dari yang bisa dirangkum. Di faksi kitalah, kita menemukan makna. Kita menemukan tujuan. Kita menemukan hidup.”

Tebersit di pikiranku moto yang kubaca di buku cetak Sejarah Faksi: Faksi Lebih Penting dari Pertalian Darah. Lebih dari keluarga. Faksi adalah tempat kami sesungguhnya berada. Apa mungkin benar seperti itu?

Marcus menambahkan, “Tanpa faksi, kita takkan bertahan hidup.”

Keheningan yang mengikuti kata-kata Marcus barusan lebih berat dari keheningan mana pun. Berat oleh ketakutan terbesar kami, bahkan lebih besar dari ketakutan akan kematian: menjadi factionless, tanpa Komunitas.

Marcus melanjutkan, “Oleh karena itu, hari ini diperingati sebagai perayaan membahagiakan—hari di mana kita menerima para peserta inisiasi baru yang  akan bekerja sama dengan kita untuk masyarakat yang lebih baik dan dunia yang lebih baik.”

Tepuk tangan menggema. Suaranya seakan menenangkan. Aku mencoba tetap berdiri tegak karena kakiku seperti terkunci dan tubuhku kaku. Aku tidak gemetar. Marcus membaca nama pertama, tapi aku tak bisa mendengar satu demi satu suku katanya. Bagaimana aku akan tahu kalau ia nanti memanggil namaku?

Satu demi satu anak berumur enam belas tahun keluar dari barisan dan berjalan menuju tengah ruangan. Gadis pertama yang memilih, memutuskan memilih Amity, faksi tempatnya berasal. Aku melihat tetes darahnya jatuh ke atas tanah dan ia berdiri di belakang kursi Amity seorang diri.

Ruangan ini terus bergerak. Nama yang baru dan orang baru yang memilih. Sebilah pisau dan sebuah pilihan baru. Aku mengenali sebagian besar dari mereka, tapi aku ragu mereka mengenalku.

“James Tlicker,” ujar Marcus.

James Tlicker dari Dauntless adalah orang pertama yang terjungkal saat melangkah menuju mangkuk. Ia menjulurkan tangan ke depan dan mendapatkan lagi keseimbangannya sebelum tersungkur di lantai. Wajahnya memerah dan ia berjalan cepat ke tengah ruangan. Saat ia berada di sana, ia mengalihkan pandangan dari mangkuk Dauntless menuju mangkuk Candor.

Marcus memberikan pisau padanya. James Tlicker menarik napas panjang—aku bisa melihat dadanya naik—dan saat ia menghela napas, ia menerima pisau itu. Kemudian, ia menorehkannya ke telapak tangan sambil bergidik dan menahan lengannya yang terjulur ke salah satu sisi. Darahnya menetes di atas kaca. Ialah yang pertama yang berpindah faksi. Perpindahan faksi yang pertama. Gumaman menggema dari bagian Dauntless dan aku menunduk menatap lantai.

Mulai sekarang, mereka akan melihat James sebagai pengkhianat. Keluarga Dauntlessnya akan memiliki pilihan untuk mengunjunginya di faksinya yang baru, selama sepuluh hari pada Hari Kunjungan. Tapi, keluarganya takkan melakukan itu karena ia telah meninggalkan mereka. Ketidakhadirannya akan menghantui lorong aula keluarga. Ia akan menjadi tempat kosong yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Dan saat waktu berlalu, lubang itu menghilang, seperti saat organ tubuh diambil dan digantikan cairan tubuh ke tempat yang kosong itu. Manusia tidak bisa menghadapi kekosongan dalam waktu lama.

“Caleb Prior,” ujar Marcus.

Caleb meremas tanganku sekali lagi untuk yang terakhir kali. Ia berjalan menjauh sambil melihatku dari balik bahunya. Aku melihat langkahnya yang makin mendekati bagian tengah ruangan. Tangannya terlihat mantap saat menerima pisau dari Marcus. Tangannya pun terlihat terampil saat menggoreskan pisau itu ke telapak tangan satunya. Ia berdiri dengan darah menggenang di tangan dan bibir tergigit menahan sakit.

Ia mengembuskan napas. Lalu menariknya. Dan, ia menjulurkan tangan ke atas mangkuk Erudite dan darahnya menetes ke dalam air. Air dalam mangkuk memerah.

Aku mendengar gumaman yang menjelma seperti pekikan penuh amarah. Aku hampir tak bisa berpikir jemih. Kakakku, kakakku yang tak memiliki pamrih, berpindah faksi? Kakakku, yang terlahir sebagai seorang Abnegation, kini seorang Erudite?

Saat aku menutup mata, aku melihat tumpukan buku di atas meja Caleb. Lalu, tangannya yang gemetar saat diusapkan ke celana selepas Tes Kecakapan. Kenapa aku tak menyadarinya saat kemarin ia berkata padaku untuk memikirkan masa depanku sendiri, sebenarnya ia sedang memberi nasihat untuk dirinya sendiri?

Aku mengedarkan pandangan ke kumpulan Erudite—mereka tersenyum penuh kepuasan dan saling menyikut satu sama lain. Abnegation, yang biasanya begitu tenang, saling berbisik satu sama lain dengan nada tinggi dan melirik ke seberang ruangan ke arah faksi yang telah menjadi musuh mereka.

“Permisi,” ujar Marcus, tapi tak ada yang mendengarkannya. Ia berteriak, “Mohon tenang!”

Ruangan menjadi hening. Kecuali, ada suara berdenging yang terus mengusik.

Kudengar namaku disebut dan rasa merinding mendorongku ke depan. Setengah jalan sebelum mencapai mangkuk itu, aku yakin aku akan memilih Abnegation. Aku bisa melihatnya sekarang. Aku melihat diriku sendiri tumbuh menjadi wanita yang mengenakan jubah Abnegation, menikahi kakak Susan, Robert, melakukan kerja sukarela di akhir pekan kegiatan rutinitas yang menenangkan, malam-malam tenang yang dihabiskan di depan perapian, kepastian kalau hidupku akan aman. Dan, jika itu semua tidak cukup, aku akan menjadi lebih baik dari diriku yang sekarang.

Suara denging itu, baru kusadari, datangnya dari telingaku sendiri.

Aku menatap Caleb yang sekarang berdiri di belakang kursi Erudite. Ia menatapku balik dan sedikit mengangguk, seakan ia tahu apa yang kupikirkan, dan menyetujuinya. Langkahku meragu. Jika seorang Caleb pun tak merasa cocok hidup di Abnegation, bagaimana aku bisa melakukannya? Tapi, pilihan apa yang kupunya. Sekarang, Caleb sudah meninggalkan kami semua dan hanya aku yang tersisa. Ia tak memberikanku pilihan lain.

Aku mengeraskan rahangku. Aku akan menjadi anak yang memutuskan untuk tetap tinggal. Aku harus melakukan ini untuk ayah dan ibu. Harus.

Marcus memberiku pisau. Aku menatap matanya— matanya biru tua, warna yang aneh—dan mengambil pisau itu. Ia mengangguk dan aku berbalik menghadap barisan mangkuk. Api Dauntless dan batu Abnegation, keduanya ada di sebelah kiriku. Satu di depan bahuku dan satu di belakangku. Aku memegang pisau dengan tangan kanan dan menekan bilahnya ke telapak tangan. Sambil menggertakkan gigi kuat-kuat, aku menggoreskan pisau itu. Rasanya memang sakit, tapi aku hampir tak memedulikannya. Aku meletakkan kedua tanganku di dada dan helaan napasku berikutnya membuatku gemetar.

Aku membuka mata dan mengulurkan tangan. Darahku menetes di atas karpet di antara kedua mangkuk. Lalu, dengan satu tarikan napas yang tak bisa kutahan, aku menggerakkan tanganku ke depan, dan darahku berdesis di atas batu bara yang berpijar.

Aku memang egois. Aku pemberani.
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar