Jumat, 02 Mei 2014

Divergent Indonesia - BAB 8

Divergent BAB 8

“Hal pertama yang hari ini akan kalian pelajari adalah cara menembakkan senjata. Yang kedua adalah bagaimana memenangkan perkelahian.” Four menjejalkan senjata ke telapak tanganku tanpa melihat dan terus berjalan. “Bagusnya, jika kalian ada di sini, kalian sudah tahu bagaimana cara naik dan turun dari kereta yang berjalan, jadi aku tak perlu mengajari kalian hal itu.”


Seharusnya aku tidak kaget bahwa Dauntless langsung mengharapkan kami mengejar ketertinggalan dan menyesuaikan diri. Tapi, aku berharap seandainya bisa tidur lebih dari enam jam agar bisa mengejar ketertinggalan. Tubuhku masih berat digelayuti kantuk.

“Inisiasi dibagi tiga tahap. Kami akan mengukur kemajuan kalian dan me-ranking kalian berdasarkan performa kalian di tiap tahap. Setiap tahap tidak dianggap sama rata untuk menentukan ranking final kalian, jadi mungkin saja, walau sulit, untuk meningkatkan peringkat kalian secara drastis di tiap tahap berbeda.”

Aku melihat senjata di tanganku. Seumur hidupku tak pernah kubayangkan memegang senjata, apalagi menembakkannya. Sepertinya berbahaya bagiku, seakan-akan hanya dengan menyentuhnya, aku bisa melukai seseorang.

“Kami percaya persiapan akan mengurangi rasa pengecut, yang kami anggap sebagai kegagalan untuk bertindak di tengah rasa takut,” ujar Four. “Oleh karena itu, tiap tahap inisiasi ditujukan untuk mempersiapkan kalian dengan cara yang berbeda. Tahap pertama diutamakan untuk fisik; tahap kedua diutamakan untuk emosi; ketiga untuk mental.”

“Tapi, apa ...’’Peter menguap di tengah kata-katanya. ‘Apa hubungannya menembakkan senjata dengan ... keberanian?”

Four memutar senjata di tangannya, mengarahkan moncongnya ke dahi Peter, dan menarik pelatuknya. Peter membeku.

“Bangun,” bentak Four. “Kau sedang memegang senjata berisi peluru, bodoh. Bersikaplah seperti itu.” Ia menurunkan senjata. Begitu senjata itu tak lagi mengancamnya, mata hijau Peter menajam. Aku terkejut Peter bisa menahan diri untuk tidak menjawab, setelah sebelumnya terbiasa meneriakkan pikirannya saat berada di Candor, tapi ia menahan diri. Pipinya memerah.

“Menjawab pertanyaanmu ... kemungkinan kau ngompol di celana dan menangis memanggil ibumu semakin mengecil jika kau punya persiapan untuk membela diri.” Four berhenti berjalan di ujung barisan, lalu membalikkan tubuh. “Ini juga informasi yang mungkin kau butuhkan nanti di-tahap pertama. Jadi, perhatikan!”

Ia menghadap tembok yang dipasangi target—sebuah tripleks persegi dengan tiga lingkaran merah. Masing-masing anak mendapatkan satu papan target. Ia berdiri dengan kaki terbuka lebar; memegang senjatanya, dan menembak. Suaranya begitu kencang sampai telingaku terasa sakit. Aku menjulurkan leher untuk melihat targetnya. Pelurunya menembus lingkaran tengah.

Aku menatap targetku sendiri. Keluargaku takkan pemah setuju aku menembakkan senjata. Mereka akan berkata senjata digunakan untuk bela diri, kalau tidak bisa dibilang untuk kekerasan, dan itulah kenapa senjata termasuk pemuasan diri sendiri.

Aku berusaha mengusir bayangan keluargaku, lalu mengambil posisi kaki terbuka selebar bahu. Dengan lembut, kugenggam gagang senjata dengan kedua tangan. Memang berat dan sulit mengangkatnya, tapi aku mau senjatanya sejauh mungkin dari wajahku. Aku menarik pelatuknya, awainya sedikit ragu, tapi kutarik lebih kuat. Terdengar bunyi mendenting melesat dari senjataku. Suaranya memekakkan telinga dan hempasannya mendorong tanganku ke belakang ke arah hidung. Aku terjungkal dan tanganku berpegangan di dinding belakangku untuk keseimbangan. Aku tak tahu ke mana arah peluruku, tapi aku tahu itu bukan di dekat target.

Aku menembak lagi dan lagi dan lagi, dan tak satu peluru pun yang mendekati target.

“Menurut statistik,” ujar bocah Erudite di sampingku—namanya Will—dengan senyum lebar, “kau seharusnya sudah mengenai target setidaknya sekali sekarang, bahkan karena tak sengaja sekali pun.” Rambutnya kusut pirang dan ada lipatan di antara kedua alisnya.

“Begitu ya,” kataku tanpa mengubah posisi.

“Yeah,” ujarnya. “Kurasa kau ini pengecualian.”.

Aku menggertakkan gigi dan berbalik menatap target. Aku memutuskan untuk setidaknya berdiri te- gak. Jika aku tak bisa menguasai tugas pertama yang mereka berikan, bagaimana aku akan bisa melewati tahap pertama?

Aku menarik pelatuk kuat, dan kali ini aku siap dengan hempasannya. Hempasannya membuat tanganku terpental ke belakang, tapi kedua kakiku tetap di tempat. Lubang peluru terlihat di pinggir target. Aku menaikkan alis ke arah Will.

‘Jadi kau lihat kan, aku benar. Statistik tak pernah bohong,” ujarnya.

Aku tersenyum kecil.

Butuh lima kali tembakan untuk menembus target bagian tengah. Dan saat aku berhasil, ada energi menggelora di dalam tubuhku. Aku lebih awas, mataku terbuka lebar, tanganku menghangat. Aku menurunkan senjata. Ada kekuatan di dalam kemampuan mengendalikan sesuatu yang bisa menghancurkan—dalam mengendalikan sesuatu, titik.

Mungkin aku cocok di sini.

Saat istirahat makan siang, lenganku berdenyut-denyut karena terlalu lama memegang senjata dan jemariku sulit diluruskan kembali. Aku memijatnya sambil berjalan ke ruang makan. Christina mengajak Al duduk bersama kami. Tiap kali. aku melihatnya, aku seperti mendengar tangisannya lagi. Jadi, aku berusaha untuk tidak menatapnya.

Aku mengaduk-aduk kacang dengan garpu. Pikiranku kembali melayang kembali ke saat tes kecakapan. Saat Tori memperingatkanku kalau menjadi Divergent itu berbahaya. Rasanya cap itu terpasang di wajahku, jadi jika aku menyimpang terlalu jauh, seseorang akan melihatnya. Sejauh ini tidak ada masalah, tapi tak juga membuatku merasa aman. Tapi, bagaimana jika aku lengah dan sesuatu yang buruk terjadi?

“Oh, ayolah. Kau tak ingat aku?” tanya Christina pada Al sambil membuat roti lapis. “Kita di kelas Matematika yang sama beberapa hari lalu. Dan, aku bukan orang pendiam.”

“Aku sering tidur di kelas Matematika,” jawab Al “Kelasnya jam pertama!”

Bagaimana kalau bahaya itu datangnya tidak dalam waktu dekat—bagaimana jika datangnya bertahun-tahun lagi dan aku tak menyadarinya?

“Tris,” ujar Christina. Ia menjentikkan jari di depan wajahku. “Kau dengar?”

‘Apa? Ada apa?”

“Aku tanya apa kaii ingat pernah sekelas denganku,” ujarnya. “Maksudku, jangan tersinggung, tapi mungkin aku takkan ingat kalau memang benar begitu. Semua Abnegation kelihatan sama di mataku. Maksudku, mereka memang masih seperti itu, tapi kan sekarang kau bukan bagian dari mereka lagi.”

Aku menatapnya. Seakan aku butuh diingatkan lagi bahwa aku berasal dari Abnegation.

“Maaf, apa aku kasar?” tanyanya. “Aku terbiasa mengucapkan apa pun yang ada di pikiranku. Ibuku pernah bilang sopan santun adalah kepalsuan yang dikemas dengan cantik,”

“Kurasa itulah kenapa faksi kami jarang berhubungan dengan yang lain,” ujarku tertawa pendek. Candor dan Abnegation tidak saling membenci seperti hubungan Erudite dan Abnegation. Tapi, lebih pada saling menghindari. Musuh Candor sebenarnya adalah Amity. Mereka bilang, kaum yang selalu mencan kedamaian di atas segalanya akan selalu berbohong untuk menjaga suasana tetap tenang.

“Apa aku boleh duduk di sini?” tanya Will sambill mengetuk meja dengan jarinya.

“Apa? Kau tak mau bergabung dengan teman-teman Eruditemu?” kata Christina.

“Mereka bukan temanku,” ujar Will sambil meletakkan piringnya. “Kalau kami berasal dari faksi yang sama, bukan berarti kami akur. Ditambah lagi, Edward dan Myra itu pacaran dan aku lebih baik tidak menjadi orang ketiga.”

Edward dan Myra, dua pindahan dari Erudite lain- nya, duduk dua meja dari kami. Mereka duduk begitu dekat sampai siku mereka bertabrakan saat mengiris makanan. Myra berhenti untuk mencium Edward. Aku menatap mereka. Aku hanya pernah beberapa kali melihat orang berciuman seumur hidupku.

Edward memalingkan wajahnya dan mencium bibir Myra. Aku menghela napas dan mengalihkan pandangan. Sebagian dari diriku menunggu mereka ditegur. Sebagian lagi bertanya-tanya, dengan sedikit putus asa, bagaimana rasanya jika ada yang menciumku.

“Kenapa mereka begitu terbuka?” tanyaku.

“Myra cuma menciumnya.” Al mengernyit ke arahku. Saat ia melakukannya, alis tebalnya menyentuh bulu mata.

“Ciuman tidak seharusnya dilakukan di depan umum.”

Al, Will, dan Christina, semuanya melemparkan senyuman penuh arti padaku.

“Apa?” kataku.

“Sifat Abnegationmu muncul,” ujar Christina. Semua tidak ada masalah menunjukkan sedikit kasih sayang di depan umum.”

“Oh.” Aku mengangkat bahu. “Ya, ... kurasa aku harus membiasakan diri.”

“Atau kau bisa tetap idingin,” ujar Will. Mata hijaunya mengerling nakal. “Kau tahu. Jika kau.mau.” Christina melemparkan makanan ke arahnya. Will menangkapnya dan memakannya.

“Jangan jahat padanya,” ujarnya. “Sikap dingin itu sudah kodratnya. Seperti sikap sok tahumu,”

“Aku tidak dingin!” teriakku.

“Jangan khawatir,” ujar Will. “Itu menarik kok. Lihat, wajahmu memerah.”

Komentar itu hanya membuat wajahku makin merah padam. Semuanya tertawa. Aku terpaksa ikut tertawa, dan setelah beberapa detik, tawaku terdengar apa adanya.

Senang rasanya bisa tertawa lagi.

Setelah makan siang, Four membawa kami ke sebuah ruangan baru. Ruangannya besar dengan lantai kayu yang retak dan berderak, serta ada lingkaran besar tergambar di tengahnya. Di dinding sebelah kiri ada papan hijau—papan tulis. Guru pendidikan dasarku pernah mengajar menggunakan itu, tapi aku tak pernah melihatnya lagi. Mungkin ini ada hubungannya dengan prioritas Dauntless: latihan dulu, baru mengembangkan teknologi.

Nama kami ditulis di papan itu berdasarkan urutan abjad. Di sisi lain ruangan, ada sansak tinju berwarna hitam pudar tergantung setiap interval satu meter.

Kami berbaris di belakang sansak itu dan Four berdiri di tengah, agar kami semua bisa melihatnya.

“Seperti yang sudah kubilang tadi pagi,” ujar Four; “selanjutnya kalian akan belajar bagaimana caranya bertarung. Tujuannya untuk mempersiapkanmu beraksi; mempersiapkan tubuhmu bereaksi pada ancaman dan tantangan—yang akan kau butuhkan jika kau berniat bertahan hidup sebagai seorang Dauntless.”

Aku bahkan tak bisa membayangkan hidup sebagai seorang Dauntless. Yang cuma kupikirkan adalah melewati inisiasi ini.

“Kita akan mempelajari tekniknya hari ini dan besok kalian akan mulai saling bertarung,” ujar Four. ‘Jadi, kusarankan kalian memperhatikan. Yang tidak cepat belajar akan cepat terluka.”

Four menyebutkan beberapa macam tinju yang berbeda, menunjukkan masing-masing tinju itu. Masing-masing jenis dengan dua kali tinju. Satu ke udara, lalu satu ke arah sansak.

Pemahamanku kian bagus saat berlatih. Seperti senjata tadi, aku butuh beberapa kali usaha untuk mengetahui bagaimana menopang tubuhku dan bagaimana mengatur tubuhku seperti yang tadi ia tunjukkan. Tendangan lebih sulit walau ia hanya mengajari kami dasamya. Sansak membuat tangan dan kakiku sakit, dan kulitku kemerahan. Sansaknya hampir tak bergerak sekeras apa pun aku menghantamnya. Yang ada di sekelilingku hanyalah suara debam kulit menghantam kain.

Four berkeliling di antara para peserta inisiasi dan melihat kami berlatih. Lalu, ia berhenti di depanku. Rasanya seperti ada yang mengaduk-aduk perutku dengan garpu. Ia menatapku. Matanya melihatku dari ujung rambut sampai ujung kaki tanpa berhenti di satu titik—sebuah tatapan singkat dan ilmiah.

“Kau tak punya banyak otot,” ujarnya, “artinya, lebih baik kau gunakan lutut dan siku. Kau bisa me-nambahkan kekuatan di titik itu.”

Tiba-tiba ia menyentuh perutku. Tangannya begitu panjang sampai ujung jarinya bisa menyentuh satu sisi rusukku, walau pergelangan tangannya berada di satu sisi rusuk lainnya. Hatiku berdebar kencang sampai dadaku terasa sakit. Aku membelalakkan mata ke arahnya.

“Jangan lupa mengencangkan tekanan di sini,” ujarnya dengan kalem.

Four mengangkat tangannya dan terus melangkah. Aku masih bisa merasakan tekanan telapak tangannya, bahkan setelah ia pergi. Aneh, tapi aku harus berhenti sejenak dan menarik napas selama beberapa detik sebelum aku mulai berlatih lagi.

Saat Four mengakhiri kelas untuk makan malam, Christina menyikutku.

“Aku kaget tadi ia tidak mematahkanmu jadi dua,” ujarnya. Ia mengerutkan hidung. “Ia benar-benar membuatku takut. Suara kalemnya itu lho,”

“Yeah. Ia...” aku melirik ke belakang. Four memang pendiam dan bisa menguasai diri. Tapi, aku tak takut ia akan menyakitiku. “... benar-benar membuatku ter-intimidasi,” akhimya aku berbicara.

Al, yang ada di depan kami, membalikkan badan saat kami mencapai The Pit dan berkata, “Aku mau tato.”

Dari belakang kami, Will bertanya, “Tato apa?” “Aku tidak tahu.” Al tertawa. “Aku cuma ingin merasa kalau aku sebenarnya sudah meninggalkan faksiku yang lama. Berhenti menangisinya.” Saat kami tak menjawab, ia menambahkan, “Aku tahu kalian mendengarku menangis.”

“Yeah, cobalah untuk tenang, bisa kan?” Christina mencolek lengan kekar Al. “Kupikir kau benar. Sekarang kita setengah keluar, setengah masuk. Kalau kita benar-benar ingin masuk, kita harus kelihatan seperti itu.”

Ia menatapku.

“Tidak. Aku tidak akan memotong rambutku,” kataku, “atau mengecatnya dengan warna yang aneh.. Atau menindik wajahku.”

“Bagaimana dengan pusarmu?” ujarnya.

“Atau putingmu?” dengus Will.

Aku mengerang.

Karena sekarang latihan hari ini sudah selesai kami bisa melakukan apa pun sampai waktunya tidur. Hal itu hampir membuatku pusing walaupun mungkin karena kelelahan.

The Pit sesak oleh banyak orang. Christina bilang kalau ia dan aku akan menemui Al dan Will di salon tato. Lalu, ia menyeretku ke bagian pakaian. Kami menempuh jalan setapak, naik lebih tinggi dari lantai The Pit. Beberapa kerikil berguguran terinjak sepatu kami.

‘Apa yang salah dengan pakaianku?” tanyaku. “Aku tak lagi memakai warna abu-abu.”

“Pakaianmu jelek dan kebesaran.” Ia menghela napas. “Biarkan aku membantumu oke? Kalau kau tak suka pakaian yang kupilihkan, kau tak perlu lagi memakainya selamanya. Aku janji.”

Sepuluh menit kemudian, aku berdiri di depan kaca di gudang baju sambil mengenakan gaun terusan selutut berwarna hitam. Roknya tidak mengembang, tapi tak pula melekat di pahaku—tak seperti yang pertama ia pilihkan dan aku tolak mentah-mentah. Lenganku yang terbuka merinding. Christina melepas tali rambutku dan aku mengibaskan kepangannya sehingga rambutku menggantung di bahuku.

Lalu, ia memegang pensil hitam.

“Eyeliner,” ujarnya.

“Kau tak bisa membuatku kelihatan cantik. Kau tahu itu, kan?” Kataku sembari memejamkan mata dan diam. Ia menorehkan ujung pensil di garis bulu mataku. Aku membayangkan berdiri di depan keluargaku dengan pakaian seperti ini. Perutku langsung terpelintir.

“Siapa yang peduli tentang cantik? Niatku untuk menarik perhatian.”

Aku membuka mata dan pertama kalinya menatap bayanganku di cermin. Jantungku langsung berdebar kencang seperti baru saja melanggar peraturan dan akan dihukum karenanya. Akan sulit menghilangkan kebiasaan pola pikir Abnegation yang masih kumiliki. Seperti menarik sehelai benang dari sebuah karya sulaman yang rumit. Tapi, aku akan menemukan kebiasaan baru, cara berpikir baru, dan peraturan baru. Aku akan menjadi sesuatu yang berbeda.

Sebelumnya mataku berwarna biru, tapi biru kelabu yang pucat. Eyeliner membuat warna mataku makin menonjol. Dengan rambut yang terurai membingkai wajahku, sosokku kelihatan lebih lembut dan berisi. Aku tidak cantik—mataku terlalu besar dan hidungku terlalu panjang—tapi aku tahu Christina benar. Wajahku menarik perhatian.

Melihat diriku yang sekarang tak seperti melihat diriku untuk pertama kalinya. Ini seperti melihat orang lain untuk pertama kalinya. Beatrice adalah sosok gadis yang kulihat diam-diam mencuri pandang di kaca, yang pendiam di meja makan. Yang ini seseorang yang matanya berkata inilah aku dan jangan lepaskan aku; inilah Tris.

“Lihat kan?” ujarnya. “Kau ... keren.”

Itulah pujian terbaik yang bisa ia berikan padaku Aku tersenyum padanya dari cermin.

“Kau suka?” tanyanya.

“Yeah,” aku mengangguk. “Aku seperti ... orang yang berbeda.”

Ia tertawa. “Itu bagus atau jelek?”

Aku menatap bayanganku lagi. Untuk pertama kalinya, keinginan untuk meninggalkan identitas Abnegation tak membuatku gugup. Justru memberiku harapan.

“Hal yang baik.” Aku menggeleng. “Maaf aku hanya tak pemah diizinkan untuk menatap bayanganku sendiri di cermin selama itu.”

“Masa?” Christina menggeleng. “Kuberi tahu kau, Abnegation itu faksi yang aneh.”

‘Ayo lihat Al ditato,” kataku. Walau kenyataannya aku telah meninggalkan faksi lamaku, aku masih belum mau mengkritiknya.

Di rumah, ibu dan aku mengambil tumpukan pakaian yang hampir serupa tiap enam bulan sekali. Mudah untuk mengatur pembagian sumber daya apa pun saat semuanya mendapatkan hal yang sama. Tapi, semua lebih bervariiasi di markas Dauntless. Tiap Dauntless mendapatkan sejumlah poin tertentu untuk dibelanjakan dan pakaian termasuk salah satu yang bisa dibelanjakan.

Christina dan aku bergegas menuruni jalur sempit menuju tempat tato. Sesampainya di sana, Al sudah duduk di kursi, didampingi seorang pria yang memiliki tatonya lebih banyak dari kulit aslinya. Pria itu menggambar seekor laba-laba di lengan Al.

Will dan Christina membuka-buka buku contoh gambar dan saling menyikut saat mereka menemukan gambar yang bagus. Saat mereka duduk berdampingan, aku menyadari betapa berlawanannya mereka. Christina berkulit gelap dan ramping, sementara Will berkulit pucat dan berisi. Tapi, mereka memiliki senyum renyah yang sama.

Aku mengelilingi ruangan dan melihat hasil karya yang ada di dinding. Di masa kini, pekerja seni banyak yang tinggal di Amity. Abnegation memandang seni sebagai sesuatu yang tidak praktis dan waktu yang dihabiskan untuk mengapresiasinya bisa digunakan untuk menolong orang lain. Jadi, walaupun aku pernah melihat hasil karya seni di buku teks sekolah, aku tak pernah berada di dalam ruangan penuh dekorasi seperti ini. Dekorasinya membuat udara menjadi padat dan hangat. Aku bisa saja tersesat di sini berjam-jam tanpa ada yang tahu. Aku menyusuri gambar-gambar di dinding dengan ujung jari. Gambar elang di salah satu dinding mengingatkanku pada tato Tori. Di bawahnya ada sketsa burung yang sedang terbang.

“Itu burung gagak” ujar suara di belakangku. “Cantik, kan?”

Aku berbalik dan mendapati Tori berdiri di sana, Rasanya seperti kembali di ruang tes kecakapan dengan cermin mengelilingiku dan kabel-kabel menancap di dahi. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya lagi.

“Halo.” Ia tersenyum. “Tidak kusangka akan bertemu denganmu lagi. Beatrice, kan?”

“Sebenarnya, Tris,” kataku. “Kau kerja di sini?

“Ya. Aku cuti untuk membantu ujian itu. Sebagian besar waktuku di sini. Ia mengetuk dagunya dengan jari. “Aku kenal nama itu. Kau pelompat pertama kan?”

“Ya, aku pelompat pertama.”

“Bagus.”

“Trims.” Aku menyentuh sketsa burung itu. “Dengar—aku ingin bicara padamu tentang...” aku melirik ke arah Will dan Christina. Aku tak bisa mengajak Tori berbicara di sudut sekarang. Mereka akan bertanya- tanya. “... tentang sesuatu. Kapan-kapan.”

“Aku tak yakin itu bijaksana,” ujarnya kalem. “Aku membantumu sebanyak yang kubisa dan sekarang kau harus melakukannya sendiri.”

Bibirku mengerut. Ia punya jawabannya. Aku tahu ia punya. Jika ia tak mau memberikannya sekarang, aku akan mencari cara untuk membuatnya mengatakannya suatu hari nanti.

“Mau tato?” ujarnya.

Sketsa burung itu menarik perhatianku. Aku tak pernah berniat ditindik atau ditato saat aku datang kemari. Aku tahu jika aku melakukannya, itu akan menjadi pemisah untukku dan keluarga yang takkan pernah bisa kuhapus. Dan, jika hidupku berlanjut di tempat ini, itu akan menjadi penghalang terakhir di antara kami.

Namun, aku paham sekarang apa yang Tori maksud tentang tato yang mewakili ketakutan yang telah ia taklukkan—semacam pengingat dari mana ia berasal, sebagaimana pengingat di mana tempatnya sekarang. Mungkin ada jalan untuk menghormati hidupku di masa lalu sebagaimana aku menerima hidupku sekarang.

‘Ya,” kataku. “Tiga sketsa burung yang sedang ini.”

Aku menyentuh tulang selangkaku. Memberi tanda jalur arah terbang mereka—menuju hatiku. Satu gambar untuk satu anggota keluarga yang telah kutinggalkan.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar