Kamis, 01 Mei 2014

Divergent Indonesia - BAB 4

Divergent BAB 4

Aku tiba di kompleks perumahanku lima menit lebih awai dari biasanya, menurut jam tanganku—satu- satunya perhiasan yang boleh dipakai seorang Abnegation, hanya karena fungsi praktisnya. Jamku bertali abu-abu dan memiliki tutup kaca. Jika melihatnya dengan sudut yang tepat, aku hampir bisa melihat pantulan bayanganku sendiri di sana.

Rumah-rumah di kompleks ini memiliki ukuran dan bentuk yang sama. Rumah kami terbuat dari semen abu-abu dengan beberapa jendela murahan berbentuk segiempat tak beraturan. Pekarangan kami ditumbuhi alang-alang dan kotak pos yang terbuat dari besi yang kusam. Untuk beberapa orang, pemandangan ini terlihat suram, tapi untukku, kesederhanaannya sungguh membuat nyaman.

Alasan atas semua kesederhanaan ini bukanlah penghinaan atas keunikan, seperti yang terkadang diartikan oleh faksi lainnya. Semuanya—rumah, pakaian, tatanan rambut kami—untuk membantu kami melupakan diri kami sendiri, serta melindungi kami dari rasa sombong, serakah, dan iri yang merupakan bentuk dari egoisme. Kalau kami hanya memiliki sedikit, menginginkan sedikit, dan kami semua sama, kami takkan iri pada siapa pun.

Aku mencoba mencintai cara ini.

Aku duduk di undakan depan rumah dan menunggu Caleb pulang. Aku tak menunggu lama. Semenit kemudian, aku melihat beberapa anak berjubah abu- abu menyusuri kompleks. Terdengar suara tawa. Di sekolah, kami mencoba untuk tidak menarik perhatian orang pada kami, tapi begitu kami di rumah, permainan dan lelucon dimulai. Kecenderungan alamiku akan sarkasme masih belum dihargai. Sarkasme selalu mengorbankan perasaan orang lain. Mungkin kaum Abnegation berpikir lebih baik aku menekan sikap itu. Mungkin aku tak perlu meninggalkan keluargaku. Mungkin kalau aku berjuang untuk menerapkan nilai Abnegation, sikapku akan terasa lebih nyata.

“Beatrice!” ujar Caleb. “Apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa?”

"Aku baik-baik saja.” Caleb bersama Susan dan kakaknya Robert. Susan menatapku aneh, seakan aku orang yang berbeda dengan yang ia kenal tadi pagi. Aku mengangkat bahu. “Saat tesnya selesai, aku tidak enak badan. Mungkin karena cairan yang mereka berikan. Tapi sekarang, aku sudah baikan.”

Aku mencoba tersenyum mantap. Sepertinya aku berhasil memperdaya Susan dan Robert yang sudah  tak lagi mencemaskan kondisi kejiwaanku. Namun Caleb memicingkan mata dan menatapku. Ia selalu melakukannya saat ia mencurigai seseorang sedang berbohong.

“Kalian berdua hari ini naik bus?” tanyaku. Aku tak peduli bagaimana Susan dan Robert pulang dari sekolah, tapi aku harus mengganti topik.

"Ayah kami harus pulang malam,” ujar Susan, “dan ayah bilang kami harus merenung sebentar sebelum Upacara besok.”

Hatiku melompat saat Upacara itu disebut.

“Kalian boleh mampir nanti kalau kalian mau,” ujar Caleb sopan.

“Terima kasih.” Susan tersenyum pada Caleb.

Robert menaikkan alisnya ke arahku. Kami berdua sering saling pandang setahun ini saat Susan dan Caleb saling tebar pesona dengan cara yang sementara ini hanya diketahui oleh kaum Abnegation. Mata Caleb mengikuti langkah Susan. Aku sampai harus meraih lengannya untuk mengalihkan pandangannya. Aku mengajaknya masuk ke rumah dan menutup pintu.

Ia berbalik menatapku. Alisnya yang hitam dan lurus saling bertaut dan membuat dahinya berkerut. Saat ia bekernyit seperti itu, ia lebih mirip ibu daripada ayah. Dalam sekejap, aku bisa membayangkannya menjalani hidup seperti ayah: tetap tinggal di Abnegation, belajar berdagang, menikahi Susan, dan memiliki keluarga. Pasti akan indah.

Aku mungkin tak bisa ikut menyaksikannya.

“Apa kau mau memberitahukan yang sebenarnya sekarang?” tanyanya lembut.

“Sejujurnya,” kataku, “aku tidak boleh membahasnya. Dan kau tak seharusnya bertanya.”

“Semua peraturan pernah kau langgar, dan yang ini malah tak bisa kau langgar? Tidak bahkan untuk sesuatu sepenting ini?” Alisnya saling mengait dan ia menggigit ujung bibimya. Walau kata-katanya terdengar menuduh, kedengarannya seperti ia menyelidiki- ku untuk sebuah informasi—sepertinya ia benar-benar menginginkan jawabanku.

Aku memicingkan mata. “Apa kau juga mau berbagi? Apa yang terjadi saat tes-mu, Caleb?”

Kami saling bertatapan. Aku mendengar klakson kereta. Sangat samar sampai mudah dibawa angin yang berembus di lorong aula. Tapi, aku tahu saat mendengarnya. Kedengarannya seperti Dauntless memanggilku datang.

“Jangan bilang ayah ibu apa yang terjadi, oke?” kataku.

Matanya tetap menatapku beberapa detik, lalu ia mengangguk.

Aku ingin naik ke kamar dan berbaring. Ujian tadi, perjalananku pulang barusan, dan pertemuanku dengan pria factionless tadi, membuatku lelah. Tapi, kakakku menyiapkan sarapan pagi ini, ibu menyiapkan makan siang kami, dan ayah menyiapkan makan malam kemarin. Jadi, malam ini giliranku memasak, menarik napas panjang dan berjalan menuju dapur untuk memasak.

Semenit kemudian, Caleb mendatangiku. Aku menggertakkan gigi. Ia membantu menyiapkan semua-nya. Yang membuatku terganggu adalah sikap baiknya yang alami. Sikap tak mementingkan diri sendiri yang sudah ia bawa sejak lahir.

Aku dan Caleb bekerja sama tanpa bicara. Aku memasak kacang di atas kompor. Ia menghangatkan empat potong ayam beku. Sebagian besar yang kami makan adalah makanan beku atau kalengan karena peternakan letaknya jauh. Ibu pernah bilang, dulu orang-orang tak mau membeli produk yang melalui proses genetis buatan karena mereka pikir itu tidak alami. Sekarang, kami tak punya pilihan.

Saat ayah ibu pulang, makan malam dan meja sudah siap semua. Ayah menjatuhkan tasnya di pintu dan mencium kepalaku. Orang lain memandang ayah sebagai orang berpendirian keras—terlalu keras, malah—tapi ayah juga penyayang. Aku mencoba untuk hanya melihat sisi baiknya. Aku mencoba.

“Bagaimana tesnya?” tanyanya. Aku menuangkan kacang ke mangkuk saji.

“Baik,” kataku. Aku tak bisa menjadi seorang Candor. Aku terlalu gampang berbohong.

“Kudengar ada semacam masalah dengan salah satu tesnya,” ujar ibu. Seperti ayah, ibu bekerja di pemerintahan. Bedanya, ibu mengatur proyek pengembangan kota. Ibu merekrut para sukarelawan untuk menjalankan tes kecakapan. Namun, sering kali juga, ibu mengatur para pekerja untuk membantu kaum factionless dengan bantuan makanan, tempat tinggal, dan kesempatan kerja.

“Benarkah?” tanya ayah. Masalah saat tes kecakapan jarang terjadi.

“Aku tidak terlalu mengerti, tapi temanku, Erin bilang ada sesuatu yang salah dengan salah satu tes- nya, jadi hasil tesnya harus diberikan secara lisan.” Ibu meletakkan satu serbet di samping setiap piring di meja. “Sepertinya murid itu sakit dan disuruh pulang lebih awai.” Ibu mengangkat bahu. “Aku harap mereka semua baik-baik saja. Apa kalian mendengar sesuatu tentang itu?”

“Tidak,” ujar Caleb. Ia tersenyum pada ibu. Kakakku juga tak bisa menjadi seorang Candor. Kami duduk mengitari meja. Kami selalu mengoper makanan ke kanan dan tak ada yang makan sampai semua makanan disajikan. Ayah mengulurkan tangan ke arah ibu dan kakakku, dan mereka mengulurkan tangan pada ayah dan aku. Ayah pun bersyukur pada Tuhan atas makanan, pekerjaan, teman-teman, dan keluarga. Tidak semua keluarga Abnegation religius, tapi ayah selalu bilang kami harus mencoba tidak melihat perbedaan karena itu hanya akan memecah belah kami. Aku tidak tahu harus berkata apa.

“Jadi,” kata ibu pada ayah. “Katakan padaku.”

Ibu meraih tangan ayah dan mengusapkan ibu jarinya di atas tonjolan tulang tangan ayah dengan gerakan melingkar. Aku menatap mereka yang saling berpegangan tangan. Orangtuaku saling mencintai, tapi mereka jarang menunjukkan kasih sayang seperti ini  depan kami. Mereka mengajari kami kalau kontak itu begitu kuat, jadi aku sudah terbiasa tidak nyaman dengan kontak fisik sejak aku masih kecil.

“Katakan padaku apa yang mengganggumu,” tambahnya.

Aku menatap piringku. Indra peka ibuku terkadang mengejutkanku, tapi sekarang rasanya seperti meledekku. Kenapa aku terlalu memikirkan diriku sendiri sampai aku tidak memperhatikan sosok ayah yang kuyu dan muram?

“Aku mengalami hari yang sulit di kantor,” ujarnya. “Ya, sebenarnya, Marcuslah yang tadi mengalami hari yang sulit. Aku tidak seharusnya mengakuinya sebagai hariku”

Marcus adalah rekan kerja ayah. Mereka berdua adalah pemimpin politik. Kota ini dipimpin oleh dewan yang terdiri dari lima puluh orang. Seluruh anggota dewan tersusun dari wakil-wakil Abnegation; faksi kamilah yang dianggap tidak korup karena komitmen kami untuk tidak mementingkan diri sendiri. Pemimpin kami dipilih oleh rekan-rekannya karena karakter yang tidak tercela, kegigihan moral, dan watak kepemimpinan. Perwakilan dari faksi lainnya bisa berbicara di dalam sebuah pertemuan tentang masalah tertentu, tapi keputusan sepenuhnya berada di tangan dewan. Dan, saat dewan membuat keputusan bersama, Marcus adalah orang yang cukup berpengaruh.

Sistem ini sudah lama dianut sejak awai zaman kedamaian akbar, saat faksi-faksi terbentuk. Kurasa sistem ini tetap dijalankan karena kami takut apa yang mungkin terjadi jika tidak dijalankan: perang.

“Apakah ini karena laporan Jeanine Matthews?” ujar ibu. Jeanine Matthews adalah satu-satunya wakil Erudite yang terpilih berdasarkan nilai IQ-nya. Ayah sering mengeluh tentang wanita itu.

Aku mendongak. “Laporan?"

Caleb memberiku tatapan peringatan. Kami tidak seharusnya berbicara di meja makan, kecuali apabila orangtua kami menanyai kami langsung. Telinga yang suka mendengar adalah berkah, begitu kata ayahku. Mereka memberikan kami kesempatan semacam itu setelah makan malam, di ruang keluarga.

“Ya,” ujar ayah dengan mata menyipit. “Laporan yang arogan, mementingkan diri sendiri— ia berhenti sebentar dan berdeham. “Maaf. Tapi, ia mengeluarkan laporan yang menyerang karakter Marcus.”

Aku menaikkan alis.

“Laporannya bilang apa?” tanyaku.

“Beatrice,” ujar Caleb tenang.

Aku menundukkan kepala. Aku memainkan garpu tanpa henti sampai merah di pipiku menghilang. Aku tidak suka ditegur. Apalagi oleh kakakku.

“Laporannya bilang,” kata ayah, “kalau kekerasan dan kekejaman Marcus terhadap anak laki-lakinyalah yang menjadi penyebab utama anaknya memilih Dauntless daripada Abnegation.”

Beberapa orang yang lahir di kaum Abnegation memutuskan untuk meninggalkan faksinya. Jika ada yang melakukannya, tentu kami terus mengingatnya. Dua tahun lalu, anak laki-laki Marcus, Tobias, meninggalkan faksi kami untuk pindah ke Dauntless. Hati Marcus hancur sejak itu. Tobias anak tunggalnya—dan satu-satunya keluarga yang ia punya karena istrinya meninggal saat melahirkan anak kedua mereka. Bayi itu menyusul ibunya beberapa menit kemudian.

Aku tak pernah bertemu Tobias. Ia jarang mendatangi acara komunitas dan tak pernah ikut datang bersama ayahnya ke rumah kami untuk makan malam. Ayah dulu sering menganggapnya aneh, tapi sekarang itu bukan masalah.

“Kejam? Marcus?” ibu menggelengkan kepala. “Kasihan pria malang itu. Ia tak perlu diingatkan atas kehilangannya itu.”

‘Atas pengkhianatan putranya, maksudmu?” tanya ayah dingin. “Di titik ini aku takkan terkejut. Orang Erudite itu telah menyerang kita dengan laporan semacam itu beberapa bulan ini. Dan ini bukanlah yang terakhir. Akan ada lagi. Aku jamin itu.”

Aku tak seharusnya bicara lagi, tapi aku tak bisa menahan diri. Aku keceplosan, “Kenapa mereka melakukan ini?”

“Kenapa kau tak menggunakan kesempatan ini untuk mendengarkan ayahmu, Beatrice?” ujar ibu lembut. Kalimat itu diucapkan seperti sebuah saran, bukannya perintah. Aku menatap ke seberang meja ke arah Caleb yang juga menatapku tidak setuju.

Aku menatap kacang-kacangku. Aku tidak yakin aku bisa hidup di kehidupan yang penuh peraturan seperti ini lebih lama lagi. Aku tidak cukup baik untuk itu.

“Kau tahu alasannya,” ujar ayah. “Karena kita memiliki apa yang mereka mau. Menghargai ilmu pengetahuan di atas segalanya akan berakhir dengan keinginan untuk kekuasaan. Dan, itulah yang mendorong seseorang ke dalam tempat kosong dan gelap. Kita seharusnya bersyukur karena kita memahaminya lebih baik.”

Aku mengangguk. Aku tahu, aku takkan memilih Erudite, walau hasil tesku mengatakan kalau aku bisa memilihnya. Aku anak perempuan kesayangan ayah.

Ayah dan ibu membersihkan meja setelah makan malam. Mereka bahkan tak membiarkan Caleb membantu karena kami seharusnya menyendiri di kamar daripada di ruang keluarga, sehingga kami bisa memikirkan tentang hasil tes tadi.

Keluargaku mungkin bisa membantuku memilih, jika aku mau bicara tentang hasilnya. Tapi, aku tidak bisa. Peringatan Tori terbayang-bayang di ingatanku tiap kali keinginanku untuk menutup mulut goyah.

Aku dan Caleb menaiki tangga dan begitu kami sampai di atas, saat kami memisahkan diri menuju kamar kami masing-masing, ia menghentikanku dengan satu sentuhan di pundak.

“Beatrice,” ujarnya sambil menatap mataku tajam “Kita harus memikirkan keluarga kita.” Ada penekanan di nada bicaranya. “Tapi, kita juga harus memikirkan diri kita sendiri.”

Untuk sejenak, aku menatapnya. Aku tak pernah melihatnya memikirkan diri sendiri. Tak pernah mendengarnya memaksakan sesuatu selain sikap tidak mementingkan diri sendiri.

Aku begitu terkejut dengan komentamya sampai aku hanya mengatakan apa yang seharusnya kukatakan: “Tes itu tak perlu mengubah pilihan kita.”

Ia sedikit tersenyum. “Tapi memang begitu, kan?” Ia meremas bahuku dan berjalan menuju kamarnya. Aku menemaninya menuju kamar dan melihat tempat tidur yang belum rapi dan setumpuk buku di meja. Ia menutup pintu. Kuharap aku bisa memberitahunya kalau kita sedang menghadapi masalah yang sama. Kuharap aku bisa mengatakan sesuatu padanya tepat seperti apa yang kuinginkan, bukannya seperti apa yang seharusnya.aku katakan. Tapi, mengakui kalau aku butuh bantuan terlalu besar untuk ditanggung, jadi aku berbalik.

Aku masuk ke kamar. Saat aku menutup pintunya, aku sadari pilihannya mungkin sederhana. Akan butuh rasa tidak mementingkan diri sendiri yang begitu besar untuk memilih Abnegation, atau rasa keberanian yang besar untuk memilih Dauntless. Mungkin memilih salah satu dari dua hal itu akan membuktikan tempat mana seharusnya aku berada. Besok, kedua sifat itu akan bertarung di dalam diriku. Dan, hanya satu yang bisa menang.
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar