Kamis, 01 Mei 2014

Divergent Indonesia - BAB 1

Divergent BAB 1

Ada sebuah cermin di rumahku. Letaknya di belakang panel geser di koridor tangga. Faksi kami memberiku izin untuk berdiri di hadapan cermin itu pada hari kedua setiap tiga bulan. Hari ketika ibu memotong rambutku.


Aku duduk di atas bangku dan ibu berdiri di belakangku dengan membawa gunting. Sekadar merapikan rambut. Helaiannya yang ikal, berwarna pirang pucat, jatuh ke lantai.

Setelah selesai, ibu menarik rambutku ke belakang dan membentuk sebuah gelung kecil. Aku memperhatikan betapa ibu terlihat tenang dan fokus. Ibu sangat terlatih dalam seni menghilangkan jati diri. Aku tak bisa seikhlas ibu dalam menghilangkan jadi diri.

Aku sedikit melirik melihat bayanganku saat ibu tak memperhatikan—bukan karena ingin sombong, tapi karena penasaran. Penampilan seseorang bisa banyak berubah dalam tiga bulan. Di depan cermin, kulihat wajah lonjong dengan mata bulat lebar dan hidung kecil yang memanjang. Aku masih terlihat seperti gadis kecil walau beberapa bulan lagi aku berulang tahun keenam belas. Faksi lainnya boleh merayakan ulang tahun, tapi tidak faksi kami. Perayaan itu hanya untuk menyenangkan diri sendiri.


“Nah,” ujar ibu saat menyemat gelung rambutku. Mata kami saling bertatapan di cermin. Terlambat untuk memalingkan muka, tapi bukannya memarahiku, ibu tersenyum menatap bayangan kami. Aku sedikit berkernyit. Mengapa ibu tak menegurku yang sedang memandangi bayanganku sendiri?

“Jadi, hari inilah saatnya,” ujarnya.

“Ya,” jawabku.

“Apa kau gugup?”

Aku menatap mataku sendiri sejenak. Hari inilah hari pelaksanaan Tes Kecakapan yang akan menunjukkan di manakah tempatku berada di antara lima faksi yang ada. Dan besok, pada saat Upacara Pemilihan, aku akan memutuskan faksi mana yang kupilih. Pilihanku berlaku selamanya. Aku akan memutuskan apakah aku akan tinggal bersama keluargaku atau meninggalkan mereka.

“Tidak,” ujarku. “Tesnya tidak harus mengubah pilihan kita.”

“Benar.” Ibu tersenyum. “Ayo kita sarapan.” “Terima kasih. Sudah memotong rambutku.”

Ibu mencium pipiku dan menggeser panel menutupi cermin. Menurutku, ibu bisa saja menjadi wanita cantik, di kehidupan yang lain. Tubuhnya yang ramping tersembunyi di balik jubah kelabu. Tulang pipinya tinggi dengan bulu mata panjang melentik. Saat ibu mengurai rambutnya di malam hari, rambutnya tergerai indah melewati bahu. Tapi sebagai anggota faksi Abnegation, ibu harus menyembunyikan kecantikannya.

Kami berjalan bersama-sama menuju dapur. Pada pagi-pagi seperti inilah, saat ibu menyiapkan sarapan, dan tangan ayah membelai rambutku sembari membaca koran, lalu ibu bersenandung sambil membersihkan meja—itulah pagi-pagi yang menyiksaku dengan rasa bersalah karena ingin meninggalkan mereka.

Busnya bau pengap. Tiap kali harus melewati jalan bergelombang, busnya berguncang dan melemparku ke sana kemari, tak peduli betapa kuatnya aku menggenggam kursi agar tidak jatuh.

Kakakku, Caleb, berdiri di lorong bus sambil berpegangan pada sulur besi di atas kepalanya agar tidak jatuh. Kami sama sekali tidak mirip. Caleb mewarisi rambut gelap dan hidung mancung ayah; serta mata hijau dan lesung pipi ibu. Saat masih kecil, sosoknya yang seperti itu kelihatan aneh, tapi sekarang ia terlihat tampan. Jika ia bukan seorang Abnegation, aku yakin para gadis di sekolah takkan melepaskan pandangan darinya.

Caleb juga mewarisi sifat ibu yang tak pernah mementingkan diri sendiri. Ia memberikan kursinya pada seorang pria Candor yang bermuka masam tanpa berpikir dua kali.

Pria Candor itu mengenakan setelan hitam dengan dasi putih—seragam standar Candor. Faksi mereka menghargai kejujuran dan melihat kebenaran sejelas warna hitam dan putih. Jadi, warna itulah yang mereka pakai.

Jarak antarbangunan mulai menyempit dan jalanan mulai lebih halus saat kami mendekati pusat kota. Gedung yang tadinya disebut Menara Sears—sekarang kami memanggilnya The Hub—mencuat dari balik kabut dan membentuk sebuah pilar hitam di langit. Bus melewati bagian bawah jalur layang kereta. Aku belum pernah naik kereta walau kereta selalu lewat dan jalur relnya di mana-mana. Hanya the Dauntless yang menggunakannya.

Lima tahun lalu, beberapa pekerja konstruksi sukarela dari Abnegation memperbaiki beberapa jalan. Mereka memulainya dari tengah kota dan terus bekerja sampai ke luar kota, hingga akhirnya mereka kehabisan bahan baku. Jalanan tempatku tinggal masih retak-retak dan penuh tambalan; benar-benar tak aman dilewati. Tapi itu tak masalah karena kami tak memiliki mobil.

Ekspresi Caleb terlihat tenang saat bus berayun dan berguncang. Jubah kelabunya menjuntai di bagian lengan saat ia menggenggam tiang untuk menjaga keseimbangannya. Aku tahu dari matanya yang terus bergerak kalau ia sedang mengamati orang di sekitarnya—berusaha untuk hanya melihat mereka dan tak melihat dirinya sendiri. Candor menghargai kejujuran, tapi faksi kami, Abnegation, menghargai sifat tak mementingkan diri sendiri.

Bus berhenti di depan sekolah. Aku bangkit dan melewati pria Candor itu. Aku meraih lengan Caleb saat aku tersandung sepatu pria itu. Celanaku memang terlalu panjang dan aku memang canggung.

Gedung Tingkat Atas adalah bangunan sekolah tertua di antara tiga sekolah di kota ini: Tingkat Rendah, Tingkat Tengah, dan Tingkat Tinggi. Seperti gedung-gedung lain di sekelilingnya, bangunan ini terbuat dari kaca dan baja. Di bagian depannya ada ukiran besi besar yang sering dipanjat the Dauntless sepulang sekolah. Mereka saling menantang untuk memanjat lebih tinggi dan tinggi. Tahun lalu aku melihat salah satu dari mereka jatuh dan kakinya patah. Akulah yang pergi mencari pertolongan perawat.

“Hari ini tes kecakapan,” ujarku. Selisih usia Caleb dan aku tidak ada setahun, jadi kami berada di kelas yangsama.

Caleb mengangguk saat kami melewati pintu depan. Otot-ototku menegang begitu kami masuk. Suasananya terasa seperti kami semua tengah dahaga. Sepertinya semua murid yang berumur enam belas tahun berusaha menikmati apa pun yang bisa mereka nikmati di hari terakhir ini. Karena kemungkinan besar kami takkan berjalan melewati aula ini lagi setelah Upacara Pemilihan—begitu kami membuat pilihan, faksi kami yang barulah yang akan bertanggung jawab untuk tuntasnya pendidikan kami.

Pelajaran cuma berlangsung setengahnya hari ini, jadi kami bisa menyelesaikan semua pelajaran sebelum tes kecakapan yang akan berlangsung setelah makan siang. Detak jantungku sudah telanjur naik.

“Kamu sama sekali tidak khawatir tentang semua yang mereka katakan?” tanyaku pada Caleb.

Kami berhenti sejenak di persimpangan aula, di mana ia akan pergi ke satu arah untuk mengikuti kelas Matematika Lanjutan dan aku akan pergi ke arah lainnya menuju kelas Sejarah Faksi.

Ia mengangkat alisnya menatapku. “Kamu sendiri?”

Aku bisa saja berkata padanya berminggu-minggu ini, aku khawatir bagaimana hasil tes kecakapanku nanti—Abnegation, Candor, Erudite, Amity, atau Dauntless?'

Tapi, aku malah tersenyum dan berkata, “Tidak juga.”

Ia ikut tersenyum. “Nah,... semoga harimu menyenangkan.”

Aku beijalan menuju kelas Sejarah Faksi sambil menggigit bibir bawah. Ia tak menjawab pertanyaanku.

Aula terlihat sesak walau ada cahaya menyeruak masuk melalui jendela dan menciptakan ilusi ruangan yang lebih luas. Inilah salah satu tempat di mana semua anggota faksi berkumpul, saat seusia kami. Hari ini kerumunannya seperti memiliki semacam energi baru, kegembiraan akan hari terakhir.

Seorang gadis dengan rambut keriting panjang berteriak “Hei!” tepat di telingaku sambil melambai ke arah temannya di kejauhan. Lengan jaketnya menampar pipiku. Kemudian, seorang anak laki-laki Erudite ber- sweter biru mendorongku. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk.

“Minggir, dasar orang kaku,” bentaknya sambil berlalu pergi.

Pipiku memanas. Aku bangkit, lalu menepuk- nepuk jubahku. Beberapa orang berhenti saat aku terjatuh, tapi tak satu pun menawarkan bantuan. Mata mereka mengikutiku sampai ke ujung aula. Hal seperti ini juga terjadi di anggota faksiku beberapa bulan belakangan—Erudite membuat laporan menyudutkan tentang Abnegation dan itu mulai memengaruhi hubungan kami di sekolah. Jubah kelabu, tatanan rambut sederhana, dan sikap sahaja faksi kami seharusnya membuatku mudah melupakan kepentinganku sendiri dan mudah pula bagi semua orang untuk melupakan keberadaanku. Tapi sekarang, mereka menjadikanku target.

Aku berhenti sejenak di depan jendela sayap E dan menunggu para Dauntless tiba. Aku melakukannya tiap pagi. Tepat pukul 07.25, Dauntless membuktikan keberanian mereka dengan lompat dari sebuah kereta yang tengah melaju.

Ayah memanggil para Dauntless itu dengan panggilan “Hellion”. Mereka bertindik, bertato, dan berpakaian serbahitam. Tugas utama mereka adalah menjaga pagar yang mengelilingi kota kami. Menjaga dari apa, aku tidak tahu.

Mereka membuatku bingung. Aku bertanya-tanya apa hubungan keberanian—yang merupakan nilai yang paling mereka hargai—dengan cincin besi yang menembus cuping hidung mereka. Namun, tetap saja mataku tak bisa lepas menatap mereka ke mana pun mereka pergi.

Peluit kereta melengking nyaring. Suaranya menggema di dadaku. Lampu yang terpasang di bagian depan kereta berkedip-kedip saat melaju melewati sekolah. Rel besinya berdecit kencang. Dan, saat beberapa gerbong terakhir melaju, sekumpulan remaja laki-laki dan perempuan berpakaian hitam berlompatan dari dalam gerbong yang sedang berjalan itu. Ada beberapa yang jatuh. Ada pula yang terguling. Yang lainnya terjungkal beberapa langkah sebelum akhimya kembali seimbang. Salah satu bocah laki-laki itu malah merangkul pundak seorang gadis sambil tertawa.

Menonton mereka hanyalah sebuah tindakan konyol. Aku berbalik dari jendela dan berjalan menembus kerumunan menuju kelas Sejarah Faksi.
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar