Jumat, 02 Mei 2014

Divergent Indonesia - BAB 6

Divergent BAB 6

Aku terus menunduk dan berdiri di belakang para pemilih Dauntless yang memutuskan untuk tetap berada di faksi mereka. Mereka jauh lebih tinggi dariku, jadi bahkan ketika kudongakkan kepalaku, aku hanya bisa melihat bahu-bahu mereka yang mengenakan pakaian hitam. Ketika gadis terakhir selesai memilih—ia memilih Amity—sekarang waktunya pergi. Dauntless meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Aku berjalan melewati orang-orang berjubah abu-abu yang tadinya berada dalam satu faksi denganku. Mataku menatap lurus ke arah kepala seseorang yang berjalan didepanku.


Tapi, aku harus melihat orangtuaku sekali lagi. Aku melirik mereka dari balik bahuku di detik terakhir sebelum aku melewati mereka. Aku mendadak menyesal melakukannya. Mata ayah menatapku tajam dengan penuh tuduhan. Tadinya saat aku merasakan mataku panas, aku pikir ayah akan membuatku marah dengan cara menghukumku atas apa yang telah kulakukan. Tapi tidak, hampir saja aku menangis.

Di sebelahnya, ibuku tersenyum.

Orang-orang di belakangku terus mendorongku maju, meninggalkan keluargaku, yang mungkin saja menjadi orang terakhir yang pergi. Bahkan, mereka mungkin saja tetap berada di sana untuk membereskan kursi dan membersihkan mangkuk. Aku memutar kepalaku mencari Caleb di kerumunan Erudite di belakangku. Ia berdiri di antara para pemilih Erudite. Ia bersalaman dengan anak yang berpindah faksi juga seperti dirinya. Tadinya anak itu seorang Candor. Senyum ringan yang ia tampilkan adalah sebuah pengkhianatan. Perutku melilit dan aku membalikkan badan. Jika ini begitu mudah untuknya, mungkin seharusnya mudah pula bagiku.

Aku melirik ke arah anak laki-laki di sebelahku yang tadinya seorang Erudite. Sekarang, ia terlihat sama pucat dan gugupnya seperti yang kurasakan sekarang. Aku menghabiskan waktu untuk mencemaskan faksi mana yang aku pilih dan tak pernah memikirkan apa yang terjadi padaku jika aku memilih Dauntless. Siapa yang nanti menyambutku di markas pusat Dauntless?

Kerumunan Dauntless menuntun kami ke arah tangga, bukannya lift. Kupikir hanya Abnegation yang menggunakan tangga.

Lalu, semuanya mulai berlari. Aku dengar sorak- sorai, teriakan, dan tawa di sekelilingku. Suara derap puluhan kaki yang bergerak dengan irama berbeda. Bagi Dauntless,menggunakan tangga bukanjukkan sikap tak mementingkan diri sendiri; itusifat penuh kebebasan.

“Apa yang terjadi?” tanya anak laki-laki di Sebelahku.

Aku menggeleng dan ikut berlari. Aku kehabisan napas saat mencapai lantai satu dan para Dauntless pun bergegas menembus pintu keluar. Di luar sana udara begitu menggigit dan dingin. Langit berwarna jingga karena senja. Cahayanya terserap oleh kaca hitam the Hub.

Para Dauntless menghambur keluar ke jalanan dan menutupi laju sebuah bus. Aku berlari cepat untuk mengejar ketertinggalanku dari bagian belakang kerumunan. Kebingunganku memudar saat aku berlari. Aku tak pernah lari dalam waktu lama. Abnegation dengan tegas melarang orang-orangnya untuk melakukan apa pun yang bersifat kesukaan. Kini, paru-paruku seperti terbakar. Ototku terasa sakit. Namun, ada rasa senang yang membebaskan karena berlari cepat. Aku mengikuti Dauntless lainnya menyusun jalanan dan memutar di sudut jalan. Tak lama aku mendengar suara yang tak asing. Peluit kereta api. “Oh tidak,” gumam anak Erudite tadi. “Apa harus melompat ke kereta itu?”

“Ya,” jawabku terengah-engah.

Untungnya aku menghabiskan banyak waktu - lihat para Dauntless tiba di sekolah. Kerumunan menyebar berjajar membentuk garis panjang. Kereta melaju di atas rel baja melewati kami. Cahaya lampunya menyilaukan mata. Suara peluitnya memekakkan telinga. Pintu setiap gerbongnya terbuka, menunggu para Dauntless melompat masuk. Dan, mereka benar-benar melakukannya. Satu kelompok demi satu ke- lompok. Sampai hanya kami, para pemilih baru, yang tertinggal. Para pemilih asli Dauntless sudah terbiasa melakukannya. Jadi dalam waktu sekejap, hanya para pemilih dari faksi berbeda yang tersisa.

Aku melangkah ke depan dengan beberapa anak lainnya dan mulai berlari. Kami berlari mengikuti gerbong beberapa langkah, lalu melompat ke dalamnya. Aku tidak setinggi atau sekuat yang lain, jadi aku tak bisa cukup kuat mendorong diriku masuk ke gerbong. Aku meraih pegangan di dekat pintu masuk. Bahuku membentur gerbong dengan keras. Lenganku gemetar dan akhimya seorang gadis Candor menarik tanganku masuk ke dalam. Sambil terengah-engah, aku berterima kasih.

Terdengar teriakan dan aku menoleh ke belakang. Seorang anak laki-laki Erudite berambut merah mengulurkan tangannya untuk mengejar kereta. Lalu, seorang anak perempuan Erudite mengulurkan tangan untuk meraihnya. Ia mengulurkan sejauh mungkin. Tapi, pemuda itu terlalu jauh. Ia tersungkur di samping rel saat kami melaju menjauh. Ia hanya membenamkan kepala di tangannya.

Rasanya aku hampir muntah. Anak itu baru saja gagal dalam inisiasi Dauntless. Sekarang, ia menjadi factionless. Itu bisa terjadi kapan saja.

“Kau baik-baik saja?” tanya gadis Candor yang tadi menolongku. Gadis itu tinggi, berkulit gelap dengan rambut pendek. Gadis yang cantik.

Aku mengangguk.

“Aku Christina,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Sudah lama aku tak bersalaman. Abnegation saling memberi salam dengan menganggukkan kepala. Itu tanda hormat. Aku menyalaminya. Sedikit ragu, tapi kuayunkan tanganku dua kali. Semoga iaku tidak menggenggamnya terlalu kuat atau terlalu lemah.

“Beatrice,” kataku.

‘Apa kau tahu kita mau ke mana?” ia harus berteriak menembus deru angin yang bertiup makin kencang melalui pintu terbuka. Keretanya melaju makin cepat. Aku duduk. Akan lebih mudah menjaga keseimbangan jika posisiku lebih rendah. Gadis itu menatapku.

“Kereta yang cepat menimbulkan angin yang besar,” kataku. “Angin bisa membuatmu terlempar keluar. Duduk sini.”

Christina duduk di sampingku, sedilkt lebih mundur sembari bersandar di dinding.

“Kurasa kita menuju markas besar Dauntless,” kataku, “tapi, aku tak tahu di mana.”

“Apa ada yang tahu?” ia menggeleng sambil tersenyum lebar. “Sepertinya mereka muncul begitu saja dari lubang di dalam tanah atau semacamnya.”

Lalu, angin mendadak menyeruak masuk ke dalam gerbong. Beberapa anak pindahan faksi lain terhempas angin itu dan saling tersungkur menimpa satu sama lain. Aku melihat Christina tertawa tanpa bisa mendengarnya. Aku mencoba tersenyum.

Dari balik bahu kiriku, ada cahaya senja berwarna jingga yang memantul di gedung-gedung kaca. Samar- samar, aku bisa melihat barisan rumah-rumah bercat abu-abu yang dulunya rumahku.

Sekarang, giliran Caleb menyiapkan makan malam. Siapa yang akan menggantikannya—ibu atau ayah? Dan, saat mereka membersihkan kamarnya, apa yang akan mereka temukan? Bisa kubayangkan buku-buku berjejalan di antara lemari dan dinding. Ada juga di bawah kasur. Rasa haus Erudite akan ilmu pengetahuan telah mengisi seluruh tempat tersembunyi di kamar itu. Apa ia selalu tahu kalau ia akan memilih Erudite? Dan jika benar, bagaimana bisa aku sampai tidak tahu?

Caleb aktor Ulung. Hal itu membuatku sakit perut. Bahkan, meski aku juga meninggalkan ayah ibu, setidaknya aku tidak berpura-pura. Setidaknya mereka tahu aku bukan orang yang tanpa pamrih.

Aku menutup mata dan membayangkan ayah ibu duduk di meja makan tanpa berkata apa-apa. Apakah ini sedikit petunjuk dari rasa tanpa pamrih yang kumiliki sehingga tenggorokanku seperti tercekat saat memikirkan mereka? Atau, ini sebentuk rasa mementingkan diri sendiri karena aku tahu aku takkan menjadi anak perempuan kesayangan mereka lagi?

“Mereka melompat!”

Aku mendongak. Leherku terasa sakit. Selama setengah jam aku meringkuk sambil bersandar di dinding; mendengar suara deru angin dan melihat bayangan kota yang menjauh. Aku membungkuk ke depan. Kereta mulai melambat beberapa menit terakhir dan aku tahu kalau anak yang tadi berteriak benar. Para Dauntless di gerbong depan melompat keluar saat kereta melewati atap sebuah bangunan. Jalurnya setinggi gedung tujuh lantai.

Melompat keluar dari kereta yang sedang bergerak ke arah atap bangunan, melihat jarak di antara ujung atap dan sisi jalur kereta, membuatku mau muntah. Aku memaksakan diri untuk berdiri dan tersandung ke arah sebaliknya di mana semua pemilih pindahan berdiri.

“Jadi, kita juga harus melompat,” ujar seorang gadis Candor. Ia memiliki hidung besar dan gigi bengkok.

“Bagus,” jawab seorang pemuda Candor, “karena itu sangat masuk akal, Molly. Lompat dari kereta ke atas atap gedung.”

“Inilah yang telah kita pilih, Peter.” Gadis itu menjelaskan.

“Yah, aku takkan melakukannya,” ujar seorang pemuda Amity di belakangku. Kulitnya seperti warna buah zaitun dan mengenakan kaus cokelat—ia satu-satunya pindahan dari Amity. Pipinya dipenuhi dengan air mata.

“Kau harus melakukannya,” ujar Christina, “atau kau gagal. Ayo, semua akan baik-baik saja.”

“Tidak akan! Lebih baik aku menjadi factionless daripada mati!” Pemuda Amity itu menggeleng. Ke-dengarannya ia panik. Ia terus saja menggeleng dan menatap atap gedung yang makin mendekat.

Aku tak setuju dengannya. Aku lebih baik mati daripada hidup hampa seperti kaum factionless.

“Kau tak bisa memaksanya,” ujarku melirik Christina. Mata cokelatnya membesar dan ia merapatkan bibimya begitu kuat sampai bibirnya memucat. Ia mengulurkan tangan padaku.

“Yuk,” ujarnya. Aku bekernyit melihat tangannya. Hampir saja aku bilang aku tidak butuh bantuan, tapi ia melanjutkan, “aku cuma,... tak bisa melakukannya, kecuali seseorang menyeretku.”

Aku meraih tangannya dan kami berdiri di pinggir pintu gerbong. Begitu mencapai atap aku menghitung, “satu, ... dua, ... tiga”

Di hitungan ketiga, kami melompat keluar dari gerbong. Momen melayang sejenak. Lalu, kakiku membentur tanah keras dan tulang keringku terasa sakit.

Pendaratan yang keras membuatku tersungkur di atap gedung. Pipiku menyentuh permukaan atap yang berbatu. Kulepaskan tangan Christina. Ia tertawa.

‘Tadi itu menyenangkan,” ujarnya.

Christina akan сосок menjadi kaum Dauntless yang mencari tantangan. Aku menepuk pipiku dari butiran batu. Semua pemilih baru, kecuali anak Amity tadi, berhasil mencapai atap dengan berbagai tahap kesuksesan. Gadis bergigi melengkung tadi, Molly, memegangi pergelangan kakinya sambil meringis. Peter, anak Candor yang berambut mengilat, tersenyum bangga—pasti tadi ia mendarat mantap dengan kedua kakinya.

Lalu, kudengar suara erangan. Aku membalikkan badan dan mencari sumber suara. Seorang gadis Dauntless berdiri di pinggir atap dan melihat ke bawah. Ia menjerit. Di belakangnya ada pemuda Dauntless yang memegangi pinggangnya agar ia tidak jatuh.

“Rita,” ujarnya, “Rita, tenang, Rita.”

Aku berdiri dan melongok ke bawah sana. Ada sesosok tubuh tergeletak di trotoar bawah. Seorang gadis dengan tangan dan kaki yang menekuk ganjil. Rambutnya tergerai di sekitar kepalanya. Perutku mual dan aku menatap jalur kereta. Tak semuanya berhasil. Dan, bahkan Dauntless pun tidak selamat.

Rita berlutut dan menangis. Aku berbalik menatapnya. Semakin lama aku menatapnya, semakin aku ingin menangis, tapi aku tak boleh menangis di depan orang-orang ini.

Aku berkata pada diriku, setegas mungkin, inilah cara hidup yang berlaku di sini. Kita melakukan hal- hal berbahaya dan orang bisa mati. Saat ada yang mati, kami tetap melanjutkan melakukan hal berbahaya. Semakin cepat aku memahami pelajaran ini, kemungkinanku lebih besar untuk bertahan melewati inisiasi.

Aku tak lagi yakin kalau aku akan bertahan melewati inisiasi.

Aku berkata pada diriku sendiri aku akan menghitung sampai tiga. Dan begitu hitunganku selesai, aku akan melanjutkan ini semua. Satu. Aku membayangkan tubuh gadis yang tergeletak di pelataran. Rasa merinding merayapiku. Dua. Aku dengar isakan Rita dan gumaman semangat dari anak laki-laki di belakangnya. Tiga.

Bibirku melengkung penuh tekad. Aku melangkah menjauh dari Rita dan pinggiran atap.

Sikuku terasa sakit. Aku menarik lengan bajuku ke atas untuk memeriksanya. Tanganku gemetar. Ada kulit yang tergores, tapi tidak berdarah.

“Oh, ini skandal! Si Orang Kaku memamerkan kulitnya!”

Aku mendongak. “Orang kaku” adalah sebutan untuk Abnegation dan akulah satu-satunya Abnegation di sini. Peter menunjukku sambil menyeringai. Kudengar mereka menertawaiku. Pipiku langsung memerah dan aku biarkan lengan bajuku turun.

“Dengar! Namaku Max! Aku salah satu pemimpin di faksi kalian yang baru!” teriak seorang di sisi atap lainnya. Ia lebih tua dari yang lain. Ada guratan di kulit gelapnya dan uban di pelipisnya. Ia berdiri di pinggir atap seakan itu sebuah trotoar. Seakan tidak ada seseorang yang baru menemui ajalnya di tempat itu.

“Beberapa lantai di bawah kita adalah pintu masuk anggota faksi kita. Kalau kalian tak bisa mengumpulkan keberanian untuk melompat, kalian tidak berhak berada di sini. Para pemilih baru mendapatkan hak untuk melompat duluan.”

“Kau mau kita semua melompat dari sini?” tanya seorang gadis Erudite. Ia beberapa inci lebih tinggi dariku dengan rambut cokelat tua dan bibir tebal. Mulutnya menganga.

Aku tak tahu kenapa itu mengejutkannya.

“Ya,” ujar Max. Ia kelihatan senang.

‘Apa ada kolam atau semacamnya di bawah sana?” “Siapa tahu?” Ia menaikkan alisnya.

Kerumunan Dauntless di depan para pemilih baru terbagi dua dan memberikan jalan yang lebar untuk kami semua. Aku melihat sekeliling. Tak ada yang kelihatannya mau melompati gedung ini—mata mereka menatap ke segala arah, kecuali ke arah Max. Sebagian dari mereka mengelus luka kecil atau menepuk kerikil dari pakaian mereka. Aku melirik ke arah Peter. Ia sedang mencongkeli salah satu kukunya. Mencoba bersikap tak peduli.

Harga diriku tertantang. Mungkin ini nanti akan membuatku terkena masalah, tapi sekarang ini membuatku berani. Aku berjalan ke pinggir atap. Kudengar gelak tawa pecah di belakangku.

Max bergeser memberiku jalan. Aku berjalan ke tepi atap dan melihat ke bawah. Angin melecut-lecut mengibas pakaianku. Gedung tempatku bersiap meloncat berada di salah satu sisi segiempat dengan tiga gedung lainnya. Di pusat segiempat ini ada lubang besar di tengah lapangan beton. Aku tak bisa melihat apa yang ada di dalamnya.

Ini adalah taktik yang mengerikan. Aku pasti akan mendarat dengan aman di bawahnya. Keyakinan itu adalah satu-satunya hal yang membantuku melangkah ke pinggir atap. Gigiku menggertak. Sekarang, aku tak bisa kembali. Tidak ketika semua orang di belakangku bertaruh aku akan gagal. Tanganku meraba kerah jubah dan aku menyentuh kancing yang mengaitkannya. Setelah beberapa kali mencoba, aku melepaskan kaitan kerah dan melepas jubahku.

Di balik itu aku mengenakan kaus abu-abu. Kausnya lebih ketat dari pakaian mana pun yang kupunya. Tak satu pun yang pernah melihatku mengenakannya. Aku menggulung jubahku dan melirik ke arah Peter di belakangku. Aku melemparkan gulungan itu sekeras yang kubisa. Rahangku mengatup keras. Jubahku membentur tepat di dadanya. Peter menatapku.Terdengar ejekan dan teriakan di belakangku.

Kulihat lubang itu sekali lagi. Bulu di lengan pucatku merinding dan perutku mengejang. Jika tidak kulakukan sekarang, aku takkan bisa melakukannya sama sekali. Aku menelan ludah susah payah.

Aku tidak berpikir. Aku hanya menekuk lututku " dan melompat.

Udara bergemuruh di telingaku saat dataran dibawah sana terasa makin dekat. Membesar dan melebar. Atau, sebenarnya akulah yang melayang mendekati tanah. Jantungku berdebar terlalu keras sampai terasa sakit. Setiap otot di tubuhku menegang saat sensasi jatuh ini seakan menarik perutku ke bawah. Lubang itu langsung menelanku dan aku jatuh di kegelapan.

Aku membentur sesuatu yang keras. Rasanya seperti menelanku dan mengayun tubuhku. Benturannya mengembuskan angin dan aku terkesiap berusaha untuk menarik napas lagi. Lengan dan kakiku terasa sakit.

Jaring. Ada jaring di bagian bawah lubang. Aku mendongak ke arah gedung itu dan tertawa. Setengah lega, setengah histeris. Tubuhku bergetar dan aku menutup wajah dengan tangan. Aku baru saja melompat dari atap.

Aku harus berdiri di tanah padat lagi. Aku melihat beberapa tangan terulur ke arahku di pinggir jaring. Jadi, kutarik tangan pertama yang bisa kuraih dan langsung mendorong diriku sendiri ke depan. Aku berguling dan pasti aku sudah tersungkur dengan wajah membentur lantai kayu jika pria itu tak menangkapku.

“Pria itu” adalah seorang pemuda pemilik tangan yang tadi kuraih. Ia memiliki bibir atas yang tipis dan bibir bawah yang penuh. Sepasang mata sayu dan bulu mata yang sangat lentik. Matanya berwarna biru, warna yang mewakili mimpi, tidur, dan penantian.

Tangannya menggenggam lenganku, tapi ia melepaskanku tak lama setelah aku bisa berdiri tegak lagi.

“Terima kasih,” kataku.

Kami berdiri di sebuah platform setinggi tiga meter di bawah tanah. Di sekeliling kami adalah sebuah gua terbuka.

“Tak bisa dipercaya,” sebuah suara terdengar dari balik pria itu. Asalnya dari seorang gadis berambut gelap dengan tindikan tiga cincin di alisnya. Ia menyeringai padaku. “Si Kaku ini, yang pertama kali melompat? Belum pernah mendengar yang seperti ini.”

“Ada alasannya kenapa ia meninggalkan kaumnya, Lauren,” ujar pemuda tadi. Suaranya berat dan bergemuruh. “Siapa namamu?”

“Um ...” aku tak tahu kenapa aku ragu. Namun, “Beatrice” sepertinya tidak lagi cocok.

“Pikirkan,” ujarnya. Ada senyum kecil tersungging di bibirnya. “Nanti kau tak bisa menggantinya lagi.”

Tempat baru, nama baru. Aku bisa lahir kembali di sini.

“Tris,” jawabku mantap.

“Tris,” ulang Lauren, menyeringai. “Umumkan, Four.”

Pemuda yang tadi menangkapku—Four—berteriak

“Pelompat pertama—Tris!”

Kerumunan mulai terlihat jelas di antara kegelapan saat mataku mulai menyesuaikan dengan keremangan Mereka bersorak dan mengacungkan tinju ke atas. Lalu orang selanjutnya jatuh ke dalam jaring. Jeritannya menggema. Christina. Semua tertawa, tapi mereka tertawa dengan ceria.

Four menepuk punggungku dan berkata, “Selamat datang di Dauntless.”
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar