Jumat, 02 Mei 2014

Divergent Indonesia - BAB 10

Divergent BAB 10

Malam itu aku memimpikan Christina yang bergelantungan di susuran sekali lagi, kali ini dengan jari kakinya. Lalu, seseorang berteriak bahwa hanya seorang Divergent yang bisa menolongnya. Maka, aku berlari menghampirinya untuk membantunya naik. Namun, seseorang mendorongku melewati pinggir jurang dan aku terbangun tepat sebelum aku membentur bebatuan di bawah sana.


Dengan tubuh berkeringat dan gemetar, aku berjalan ke kamar mandi perempuan untuk mandi dan berganti pakaian. Saat aku kembali, ada semprotan merah membentuk kata “KAKU” melintang di atas tempat tidurku. Kata itu ditorehkan di sepanjang dipan tempat tidur dan satu lagi di atas bantalku. Aku melihat ke sekeliling dengan jantung berdebar penuh kemarahan.

Peter berdiri di belakangku. Ia bersiul sambil menepuk-nepuk bantalnya. Sulit kupercaya aku bisa membenci seseorang yang kelihatannya begitu baik—alisnya melengkung alami dan ia memiliki senyum lebar dengan gigi yang putih.

“Hiasan yang bagus,” ujarnya.

“Apa aku tidak sengaja melakukan sesuatu padamu?” tanyaku. Aku meraih ujung seprai dan menariknya dari atas kasur. “Aku tidak tahu apa kau sadar atau tidak, tapi sekarang kita ada di satu faksi yang sama.”

“Aku tidak tahu apa maksudmu,” ujarnya enteng. Lalu, ia melirikku. “Dan, kita tidak akan pernah ada di faksi yang sama.”

Aku menggeleng sambil melepas sarung bantal. Jangan terpancing. Ia hanya ingin membuatku marah. Ia takkan bisa melakukannya. Tapi, tiap kali ia menepuk-nepuk bantalnya, kubayangkan tinjuku memukul perutnya.

Al masuk dan aku bahkan tak perlu memintanya untuk membantuku. Ia hanya menghampiri dan melucuti seprai bersamaku. Nanti aku harus menggosok dipan untuk menghilangkan coretannya. Al membawa sepraiku ke dalam keranjang pakaian kotor dan kami berdua berjalan ke ruang latihan.

‘Jangan pedulikan ia,” ujar Al. “Ia itu idiot dan kalau kau tak terpancing, ia akan berhenti sendiri.”

“Yeah,” aku menyentuh pipiku. Rasanya masih hangat oleh rasa marahku barusan. Aku mencoba mengalihkan pikiran. “Apa kau sudah bicara dengan Will?” tanyaku pelan. “Setelah ... kau tahu.”

“Yeah. Ia baik-baik saja. Ia tidak marah.” Al menghela napas. “Sekarang, aku akan selalu diingat orang sebagai cowok berdarah dingin yang pertama kali menghajar seseorang.”

“Ada banyak cara untuk diingat. Setidaknya mereka takkan mengganggumu.”

“Ada beberapa cara yang lebih baik juga.” Ia menyikutku sambil tersenyum. “Pelompat pertama.” Mungkin aku memang pelompat pertama, tapi kurasa itulah awal dan akhir ketenaranku di Dauntless.

Aku berdeham. “Lagi pula, toh salah satu dari kalian akan kalah, kau tahu, kan? Kalau bukan ia, pasti kau.”

“Tetap saja, aku tak mau melakukannya lagi.” Al menggeleng cepat beberapa kali. Ia mendengus. “Aku benar-benar tak mau.”

Kami mencapai pintu ruang latihan dan aku berkata, “Tapi kau harus.”

Al memiliki wajah yang baik. Mungkin ia terlalu baik untuk Dauntless.

Aku melihat papan tulis saat memasuki ruangan. Aku tak perlu bertarung kemarin, tapi hari ini pasti aku akan bertarung. Saat kulihat namaku, aku berhenti melangkah.

Lawanku adalah Peter.

“Oh tidak,” ujar Christina yang berada di belakang kami. Wajahnya masih memar dan kelihatannya ia memaksakan diri untuk tidak kelihatan pincang. Saat melihat papan, ia meremas bungkus muffin yang dipegangnya. “Apa mereka serius? Mereka akan membuatmu bertarung dengan-nya?”

Peter hampir 30 sentimeter lebih tinggi dariku dan kemarin ia menghajar Drew kurang dari lima menit. Hari ini wajah Drew terlihat memar hitam kebiruan, tak segar seperti biasanya.

“Mungkin kau perlu menerima beberapa pukulan dan berpura-pura pingsan,” saran Al. “Takkan ada yang menyalahkanmu. ”

“Yeah,” kataku. “Mungkin.”

Aku melihat papan itu. Pipiku terasa panas. Aku tahu Al dan Christina hanya mencoba membantu. Tapi, kenyataan bahwa mereka tak percaya, bahkan tidak sedikit pun tebersit di benak mereka, kalau aku memiliki kemungkinan menang melawan Peter, menggangguku.

Aku berdiri di sisi ruangan, setengah mendengarkan obrolan Al dan Christina, dan melihat Molly bertarung dengan Edward. Edward lebih cepat dari Molly, jadi kuyakin gadis itu takkan menang hari ini.

Saat pertarungan berlangsung dan kejengkelanku memudar, aku mulai gelisah. Kemarin Four memberi tahu kami untuk mencari kelemahan lawan. Selain sifat yang membuatnya tak disukai, Peter tak memiliki kekurangan. Ia kuat karena cukup tinggi, tapi tubuhnya tidak terlalu besar untuk membuatnya lambat. Ia bisa melihat kelemahan orang lain. Ia kejam dan takkan memberiku ampun. Aku bisa saja mengatakan, siapa tahu Peter meremehkanku, tapi itu bohong. Aku sama tak berdayanya seperti yang ia duga.

Mungkin Al benar dan aku cuma perlu menerima beberapa pukulan dan berpura-pura pingsan.

Tapi, aku tak bisa tak mencoba. Aku tak boleh ada di ranking terbawah.

Saat Molly mencoba berdiri, nyaris tak sadar akibat hantaman Edward, jantungku berdebar begitu kencang sampai-sampai aku bisa merasakannya di ujung jariku. Aku tak ingat bagaimana caranya berdiri. Aku tak ingat caranya memukul. Aku berjalan ke tengah arena dan perutku menggeliat saat Peter mendekatiku. Ia lebih tinggi dari yang kuingat; lengan-lengannya mencuat menarik perhatian. Ia tersenyum padaku. Aku bertanya-tanya apakah muntah di depannya akan membantuku.

Aku ragu.

“Kau baik-baik saja, Kaku?” ujarnya. “Kelihatannya kau mau nangis. Aku akan pelan-pelan padamu jika kau menangis.”

Dari balik bahu Peter, aku melihat Four berdiri di samping pintu dengan tangan terlipat. Mulutnya mengerut seakan ia baru saja menelan sesuatu yang asam. Di sampingnya ada Eric yang mengetuk-ngetukkan kaki lebih cepat dari detak jantungku.

Satu detik aku dan Peter masih berdiri di sini dengan saling melihat satu sama lain. Detik berikutnya, tangan Peter terangkat ke arah wajah dengan siku menekuk. Lututnya pun ikut menekuk, seakan ia siap melompat.

“Ayo Kaku,” ujarnya dengan mata berkilat. “Cuma setetes air mata saja. Mungkin sedikit memohon juga.”

Bayangan kalau aku memohon ampun pada Peter membuatku muak, dan aku menendangnya ke arah samping. Atau, aku akan menendangnya di sampinya, jika ia tak menangkap kakiku dan melemparnya ke depan, sehingga membuatku kehilangan keseimbangan Punggungku membentur lantai. Aku menarik kakiku dan berusaha berdiri.

Aku harus tetap berdiri, jadi ia takbisa menendang kepalaku. Hanya itu yang bisa kupikirkan.

‘Jangan bermain-main dengannya,” bentak Eric. “Aku tak punya waktu seharian.”

Tampang jahil Peter memudar. Tangannya mengayun dan rasa sakit menjalari rahangku, merambat ke penjuru wajah dan membuat pandanganku mulai gelap. Telingaku ikut berdenging. Aku berkedip dan terhuyung-huyung ke samping saat ruangan kelihatan seperti bergoyang-goyang. Aku tak ingat kalau tinjunya telah mengenaiku.

Aku terlalu limbung untuk melakukan apa pun kecuali menjauh darinya, sejauh mungkin asal masih tetap berada di arena. Ia bergerak cepat ke depan dan menendang perutku keras-keras. Kakinya seperti memaksa udara keluar dari paru-paruku. Rasanya sakit. Sangat sakit sampai aku takbisa bernapas. Atau, mungkin itu semata karena tendangannya, aku tak tahu. Yang kutahu aku hanya jatuh tersungkur.

Cepat bangun adalah satu-satunya pikiran yang ada di kepalaku. Aku memaksakan diri untuk bangkit, tapi Peter telanjur ada di dekatku. Ia menarik rambutku dengan satu tangan dan tangan yang lainnya tepat meninju hidungku. Kali ini sakitnya berbeda. Bukan seperti sakit ditusuk, dan lebih mirip sakit saat ada anggota tubuh yang patah. Otakku rasanya seperti retak dan pandanganku dipenuhi berbagai warna, biru, hijau, merah. Aku mencoba mendorongnya menjauh, lenganku memukul lengannya. Ia memukulku lagi, lali ini di tulang rusuk. Wajahku basah. Hidungku berdarah. Lebih deras dari sebelumnya, kurasa, tapi aku terlalu pusing untuk melihat ke bawah.

Ia mendorongku dan aku jatuh lagi. Aku menapakkan tangan di tanah. Mataku tak henti berkedip, lambat, perlahan, dan panas. Aku terbatuk dan berjalan menyeret langkah. Aku seharusnya tetap berbaring di tanah karena ruangan ini berputar terlalu keras. Peter pun seperti berputar mengelilingiku. Aku ada di pusat planet yang tengah berputar. Aku yang satu-satunya tidak berputar. Sesuatu memukulku dari samping dan aku hampir terjatuh lagi.

Bangun, cepat bangun. Aku melihat ada sesuatu di hadapanku. Tubuh seseorang. Kulayangkan tinju sekeras yang kubisa dan kepalan tanganku menumbuk sesuatu yang lunak. Peter bahkan tak mengerang dan memukul telingaku dengan telapak tangannya sambil tertawa. Aku mendengar suara mendenging dan mencoba menghilangkan beberapa noda hitam di mataku dengan mengedip beberapa kali. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang masuk ke mataku?

Di tengah-tengah pandangan yang berkunang- kunang ini, kutangkap sosok Four mendorong pintu terbuka dan melangkah keluar. Rupanya pertarungan ini tak cukup menarik untuknya. Atau, mungkin ia mencari tahu mengapa semuanya berputar seperti gasing. Dan, aku tak menyalahkannya. Aku juga ingin tahu alasannya.

Akhirnya, lututku menyerah dan pipiku merasakan dinginnya lantai. Sesuatu membentur sisi tubuhku dan untuk pertama kalinya aku menjerit, melengking tinggi yang sepertinya bukan suaraku. Sekali lagi ada yang membentur tubuhku. Aku tak bisa melihat apa- apa, bahkan apa pun yang ada di depan wajahku. Semuanya gelap. Seseorang berteriak, “Cukup!” dan yang kupikirkan hanyalah terlalu banyak dan tidak sama sekali.

Saat aku terbangun, aku tak merasakan apa-apa, tapi bagian dalam kepalaku rasanya samar-samar, seperti dijejali banyak bola kapas.

Aku tahu aku kalah, dan satu-satunya hal yang menyingkirkan rasa sakit adalah keadaanku yang sulit berpikir jernih sekarang.

“Apakah matanya menghitam?” tanya seseorang.

Aku membuka satu mata—mata yang lainnya tetap tertutup seakan-akan dilapisi lem. Di sebelah kananku ada Will dan Al. Christina duduk di atas kasur di sebelah kiriku dengan sekantong es di rahangnya. “Kenapa mukamu?” ujarku. Bibirku rasanya aneh dan terlalu besar.

Christina tertawa. “Lihat siapa yang bicara. Apa kami perlu mengambilkan perban mata untukmu?” “Ya, aku sudah tahu apa yang terjadi dengan mataku,” kataku. “Aku kan ada di sana. Sepertinya.” “Kau baru saja bercanda, Tris?” ujar Will tersenyum lebar. “Kami harus lebih sering memberimu penahan sakit jika kau mulai bercanda. Oh, dan menjawab pertanyaanmu, aku baru saja menghajar Christina.”

“Aku tidak percaya kau tak bisa mengalahkan Will,” ujar Al menggeleng.

“Apa? Ia bagus kok,” ujar Christina mengangkat bahu. “Plus, kurasa aku sudah belajar bagaimana caranya supaya tidak kalah lagi. Aku cuma perlu mencegah orang memukul rahangku.”

“Seharusnya kau tahu itu dari dulu.” Will mengedipkan mata padanya. “Sekarang, aku tahu kenapa kau bukan seorang Erudite. Tidak terlalu pintar, kan?” “Kau tidak apa-apa, Tris?” kata Al. Matanya cokelat tua, hampir sama seperti warna kulit Christina. Pipinya terlihat kasar. Jika tidak bercukur, ia akan memiliki jenggot yang tebal. Sulit dipercaya ia baru enam belas tahun.

“Yeah,” kataku. “Aku cuma berharap selamanya aku tetap di sini supaya tak perlu bertemu Peter lagi.”

Tapi, aku tak tahu di mana “di sini” itu. Aku berada di ruangan yang sempit tapi besar dengan barisan tempat tidur di masing-masing sisi. Beberapa tempat tidur ditutup gorden. Di sebelah kanan ruangan ada pos perawat. Pasti ini tempat di mana para Dauntless pergi jika mereka terluka atau sakit. Seorang wanita di sana menatap kami dari balik papan catatannya. Aku tak pernah melihat seorang perawat dengan tindikan di telinga sebanyak itu. Beberapa Dauntless pasti menjadi sukarelawan untuk melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan faksi lain. Lagi pula, sepertinya tak masuk akal bagi para Dauntless untuk berjalan jauh ke rumah sakit di kota tiap kali mereka terluka.

Pertama kalinya aku pergi ke rumah sakit, umurku masih enam tahun. Ibu terjatuh di trotoar jalan di depan rumah dan lengannya patah. Mendengarnya menjerit membuatku menangis, tapi Caleb langsung berlari mencari ayah tanpa berkata apa-apa. Di rumah sakit, seorang wanita Amity berkaus kuning dengan kuku yang bersih, mengukur tekanan darah ibu dan membetulkan letak lengannya sambil tersenyum.

Aku ingat Caleb berkata pada ibu kalau ibu butuh waktu sebulan untuk pulih karena retakannya terjadi di tulang lunak. Kupikir Caleb hanya menenangkan ibu karena itulah yang dilakukan mereka yang tak memiliki rasa pamrih. Tapi, sekarang aku bertanya-tanya apakah ia hanya menyampaikan apa yang sudah ia peIajari; seakan semua sifat Abnegation yang Caleb miliki hanyalah sifat Erudite yang disamarkan.

‘Jangan khawatirkan Peter,” ujar Will. “Paling tidak ia akan dihajar oleh Edward yang sudah belajar perkelahian tangan kosong sejak umur kami sepuluh tahun. Untuk senang-senang.”

“Bagus,” ujar Christina. Ia memeriksa jamnya. "Kurasa kita kelewatan makan malam. Apa kau mau kami ada di sini, Tris?”

Aku menggeleng. “Aku baik-baik saja.”

Christina dan Will bangkit, tapi Al tinggal sebentar. AI memiliki wangi yang khas—manis dan segar seperti wangi daun sage dan serai. Saat ia banyak bergerak, aku membalikkan badan di malam hari, aku bisa mencium aromanya dan tahu kalau ia sedang bermimpi buruk.

“Aku hanya ingin memberitahumu kalau kau ketinggalan pengumuman Eric. Kita akan pergi jalan-jalan besok, ke perbatasan, untuk mempelajari pekerjaan Dauntless,” ujarnya. “Kita harus sudah ada di kereta jam delapan lebih lima belas.”

“Bagus,” kataku. “Terima kasih.”

“Dan jangan dengarkan Christina. Wajahmu tak seburuk itu.” Ia tersenyum kecil. “Maksudku, kelihatannya baik. Selalu kelihatan baik-baik saja. Maksudku kau kelihatan berani, Dauntless.”

Matanya menghindari tatapanku. Dan, ia menggaruk belakang kepalanya. Ada keheningan di antara kami berdua. Ia mengatakan hal yang baik, tapi ia bersikap seakan itu lebih dari sekadar kata-kata. Kuharap aku salah. Aku tak mungkin tertarik Al—aku tak mungkin tertarik pada orang serapuh itu. Aku tersenyum selebar yang pipiku bisa lakukan dan berharap bisa mengaburkan ketegangan yang ada.

“Harusnya kubiarkan kau istirahat,” ujarnya. Ia bangkit, tapi sebelum ia pergi, aku meraih pergelangan tangannya.

“Al, apa kau baik-baik saja?” kataku. Ia menatapku kosong dan aku menambahkan, “Maksudku, apakah ini jadi lebih mudah sekarang?”

“Uh ...” ia mengangkat bahu. “Sedikit.”

Ia menarik tangannya dan menjejalkannya ke saku. Pertanyaan itu pasti telah membuatnya malu karena aku tak pernah melihat wajahnya semerah itu. Jika menghabiskan malam-malamku dengan menangis di atas bantal, aku juga akan sedikit malu. Setidaknya saat aku menangis, aku tahu bagaimana cara menyembunyikannya.

“Aku kalah dari Drew. Setelah pertarunganmu dengan Peter.” Al menatapku. “Aku memukul beberapa kali, jatuh, dan tetap berada di sana. Walaupun aku tak perlu melakukannya. Aku menyadari ... aku sadar sejak aku mengalahkan Will, jika aku kalah di semua pertarungan, aku tidak akan berada di urutan terbawah. Jadi, aku tak perlu menyakiti siapa-siapa lagi.”

“Apakah itu yang benar-benar kau mau?”

Ia menunduk. “Aku cuma tak bisa melakukannya. Mungkin itu artinya aku pengecut.”

“Kau bukan pengecut hanya karena kau tak ingin menyakiti orang lain,” kataku, karena aku tahu itulah hal yang benar untuk dikatakan, bahkan jika aku sendiri tak yakin aku sungguh-sungguh mengatakannya.

Kami saling berpandangan sejenak. Mungkin aku memang bersungguh-sungguh mengatakannya. Jika ia pengecut, itu bukan karena ia tak menikmati rasa sakitnya. Itu karena ia tak mau bertindak.

Ia menatapku miris. “Menurutmu keluarga kita akan datang berkunjung? Mereka bilang keluarga anak pindahan tak pernah datang di Hari Kunjungan.”

“Aku tak tahu,” kataku. “Aku tak tahu apakah itu baik atau buruk jika mereka melakukannya.”

“Kurasa buruk.” Ia mengangguk. “Yeah, ini saja sudah cukup sulit.” Ia mengangguk lagi seakan ingin menegaskan apa yang baru ia katakan dan melangkah pergi.

Kurang dari seminggu lagi, para peserta inisiasi faksi Abnegation bisa mengunjungi keluarga untuk pertama kalinya sejak Upacara Pemilihan. Mereka akan pulang ke rumah dan duduk di ruang keluarga. Mereka akan berhubungan lagi dengan orangtuanya untuk pertama kalinya sebagai orang dewasa.

Tadinya aku menanti hari itu. Tadinya aku memikirkan apa yang akan kukatakan pada ibu dan ayah setelah aku diizinkan untuk bertanya pada mereka di meja makan.

Kurang dari seminggu, para peserta inisiasi asli Dauntless akan menemui keluarga mereka di lantai terbawah The Pit atau di gedung kaca di atas markas ini. Mereka akan melakukan apa pun yang biasa Dauntless lakukan saat mereka berkumpul. Mungkin mereka saling bergantian melemparkan pisau ke kepala anggota keluarga yang lain—itu takkan membuatku terkejut.

Dan, para peserta inisiasi pindahan dengan orang-tua yang pemaaf juga akan bisa bertemu dengan keluarganya lagi. Kurasa orangtuaku bukan termasuk golongan itu. Tidak setelah ayahku berteriak marah saat upacara. Tidak setelah kedua anaknya meninggalkan ayah ibunya.

Mungkin kalau aku bisa bilang pada mereka aku seorang Divergent dan bingung harus memilih apa, mereka akan mengerti. Mungkin mereka akan membantuku mencari tahu apakah Divergent itu, dan apa artinya, dan kenapa berbahaya. Tapi, aku tidak memberitahukan rahasia itu pada mereka, jadi aku tak akan pernah tahu.

Aku menggertakkan gigi saat air mataku jatuh. Aku muak. Aku muak dengan air mata dan rasa lemah. Tapi, tak banyak yang bisa kulakukan untuk menghentikan semua perasaan itu.

Mungkin aku akan tertidur, mungkin juga tidak. Meski begitu, malamnya aku menyelinap keluar ruangan dan kembali ke kamar. Hal yang lebih buruk dari membiarkan Peter mengirimku ke rumah sakit adalah membiarkannya membuatku menginap di rumah sakit.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar